Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memulai rangkaian kunjungan ke sejumlah negara di kawasan Afrika, yakni ke Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan sejak Minggu (20/8/2023).
Sejumlah pengamat pun meyakini bahwa Presiden Ke-7 RI tak ingin pulang dengan tangan hampa dalam kunjungan perdananya ke kawasan Afrika. Tak hanya diyakini bertujuan untuk memperkokoh solidaritas di antara negara-negara selatan global, tetapi ada maksud sosial politik yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi.
Apalagi, kunjungan Kepala Negara di kawasan Afrika nantinya akan diakhiri dengan mengunjungi Afrika Selatan untuk memenuhi undangan dalam menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2023.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago meyakini bahwa kunjungan kenegaraan ke Afrika Selatan perlu untuk dilakukan Presiden asal Surakarta itu. Mengingat, tak lama lagi masa kepemimpinannya akan usai dan dirinya perlu mewarisi diplomasi politik yang baik sebagai bekal pemimpin Negara selanjutnya.
Kendati demikian, dia menilai merupakan contoh terpuji bahwa kunjungan tersebut dilakukan menjelang akhir masa jabatannya, sehingga Jokowi memperlihatkan gestur yang tepat untuk mendahulukan persoalan dalam negeri ketimbang memaksakan diri untuk berlabuh ke ragam negara dengan tujuan mengincar invesrasi.
“Kunjungan ini menjadi penting dalam perhelatan peta politik dan sosial, khususnya menunjukkan pesan bahwa Indonesia melihat posisi Negara disetiap belahan dunia itu setara dan kita ingin membangun hubungan baik dengan negara manapun. Pesan politik yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi adalah kesetaraan,” ujarnya saat dihubungi, Senin (21/8/2023).
Baca Juga
Aspek Politik
Dalam aspek politik, dia melanjutkan, bahwa Indonesia harus terus memperkuat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, termasuk kebebasan sipil dan politik dan harus tetap mengedepankan pendekatan yang berimbang dan inklusif guna memitigasi terjadinya konflik antar negara anggota dalam forum tersebut.
Pangi juga menilai bahwa Jokowi perlu untuk menunjukkan posisi Indonesia yang harus aktif terlibat dalam dialog dan negosiasi antara anggota BRICS untuk memastikan kepentingan nasional Indonesia terwakili dengan baik. Sehingga, BRICS dapat dimanfaatkan sebagai platform untuk memperluas pengaruh negara di tingkat internasional.
Menurutnya, dengan bergabung dengan BRICS juga dapat membuka ruang bagi Indonesia untuk belajar dari negara anggota dalam membangun sektor prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan sosial. Indonesia juga dapat belajar dari Cina, misalnya, dalam mengembangkan infrastruktur.
“Bergabungnya, akan membantu Jokowi dalam mewujudkan visinya untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara maju sehingga kunjungan kali ini harus dimanfaatkan dengan baik. Kita perlu menyerap dan menjadi tipikal pembelajar dari banyak Negara sehingga dapat melewati rekam jejak kita sebagai Negara berkembang,” tandasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Socio-Economic Educational Business Institute (SEEBI) Dianta Sebayang menilai kehadiran Indonesia menghadiri Forum BRICS memberikan pesan kepada dunia, terutama negara G7 bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang menganut prinsip bebas aktif, baik secara politik maupun ekonomi.
“Apalagi Indonesia saat ini sedang mendapatkan tekanan dengan program hilirsasi dari WTO (World Trade Organization) hingga sempat dicibir oleh IMF (International Monetary Fund),” ujarnya.
Oleh sebab itu, Dianta meyakini bahwa menjadi satu langkah diplomasi yang strategis dan akan membawa sejumlah dampak positif bagi Indonesia apabila menghadiri agenda dari aliansi lima negara berkembang (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) itu.
Apalagi, saat ini forum tersebut memiliki peran signifikan secara global dan tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Kelimanya mewakili 40 persen dari total populasi dunia, 25 persen dari ekonomi global, dan 17 persen dari perdagangan internasional.
Selain itu, dia melanjutkan total pendapatan domestik bruto (PDB) negara BRICS mencapai US$22,5 triliun atau sekitar Rp 335.746 triliun, melampaui total PDB Negara G7 yang berada di angka US$21,4 triliun pada tahun ini. Kelompok G7 terdiri dari negara demokrasi maju, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang.
“Dengan memperkuat hubungan dengan BRICS, Indonesia akan memiliki peluang untuk menarik lebih banyak investasi di sektor infrastruktur,” ucapnya.
Dia sepakat bahwa kehadiran Jokowi di KTT BRICS akan membuktikan menunjukkan komitmen dan kapabilitas Indonesia dalam berpartisipasi dalam diplomasi global, memperkuat hubungan dengan negara-negara berkembang, dan meningkatkan peran Indonesia di forum internasional.
Indonesia, dinilainya akan mendapatkan panggung untuk memengaruhi dialog dan kebijakan global mengenai isu-isu mendesak yang menjadi fokus BRICS, seperti perubahan iklim, kesehatan global, dan upaya penanggulangan kemiskinan serta pembangunan global.
Dianta juga menyebut bahwa kehadiran Jokowi dalam KTT tersebut mampu menjadi medium untuk memperkenalkan lebih jauh tentang Indonesia, baik dari segi budaya, sejarah, maupun potensi ekonominya kepada dunia.
“Ini bisa menjadi langkah agar Indonesia berhasil dalam politik dunia. Sebab, salah satu kunci kesuksesan utama dalam perpolitikan dunia adalah dengan menggunakan kekuatan mengkooptasi,” pungkas Dianta .