Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai beberapa produsen di Asia secara ilegal menghindari tarif pada peralatan tenaga surya dari China, sehingga berdampak pada kenaikan biaya tenaga listrik terbarukan dan memperlambat pengembangan energi bersih.
Mengutip pemberitaan Bloomberg, Jumat (18/8/2023) beberapa sel surya dan modul yang diekspor dari Asia Tenggara kini menghadapi tarif sebesar 254 persen pada Juni 2024, setelah Departemen Perdagangan menetapkan bahwa perusahaan yang beroperasi di Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam menghindari bea masuk yang sudah berlangsung lama.
AS mengidentifikasi lima perusahaan yang berasal dari China atau terkait dengan China yang menghindari tarif, meliputi BYD (Hong Kong) Co. Ltd. dan New East Solar (Cambodia) Co. Ltd. di Kamboja; Canadian Solar Inc. di Thailand; dan, Vietnam, Trina Solar Science & Technology dan Vina Solar Technology Co., sebuah unit dari Longi Green Energy Technology Co.
Keputusan ini pada akhirnya akan mendukung produsen tenaga surya AS yang telah memperluas kapasitas produksi domestik dengan insentif dari undang-undang iklim tahun lalu.
Menjelang keputusan tersebut, banyak perusahaan energi AS mulai mendiversifikasi rantai pasokan mereka untuk meminimalkan potensi eksposur terhadap tarif baru dan undang-undang tenaga kerja paksa AS, yang ditujukan pada produk-produk yang terkait dengan wilayah Xinjiang di China.
Keputusan dari Departemen Perdagangan juga dapat memberikan ketegangan antara China dan AS, bahkan ketika kedua negara mencari cara untuk memperbaiki hubungannya.
Baca Juga
Dalam jangka pendek, keputusan ini dapat mempercepat pembelian peralatan surya yang terkena dampak di AS, sebelum bea masuk yang diperluas mulai berlaku tahun depan. Hal ini lantaran para pengembang energi terbarukan ingin menimbun peralatan yang bebas tarif.
Diketahui juga bahwa beberapa pelobi AS tidak berhasil mendorong Departemen Perdagangan untuk melangkah lebih jauh dan menindak impor tenaga surya yang mengandung polysilicon dan ingot buatan China, yakni prekursor awal dalam proses pembuatan panel. Namun, badan tersebut sebagian besar tetap berpegang pada keputusan awal yang dikeluarkannya pada bulan Desember lalu.
AS sendiri masih sangat bergantung pada impor dari Asia Tenggara, dengan negara-negara yang terkena dampak memasok sekitar 75 persen modul ke AS.
Berdasarkan putusan tersebut, semua produsen panel surya lainnya di empat negara tersebut akan dikenai tarif baru, kecuali jika mereka menyatakan bahwa ekspor mereka tidak menghindari tarif.
Analis BloombergNEF Pol Lezcano, mengatakan bahwa meskipun begitu harus ada pasokan barang bebas tarif yang cukup untuk memenuhi permintaan solar domestik antara 2024-2030.
Penyelidikan ini diketahui berlangsung selama 17 bulan. Para pendukung penyelidikan tersebut mengatakan bahwa AS perlu lebih niat menegakkan langkah-langkah yang pertama kali diberlakukan pada 2011, untuk untuk mengimbangi penetapan harga dan subsidi yang tidak adil oleh China yang telah merugikan saingan-saingan Amerika.Sedangkan, para penentang penyelidikan tersebut berpendapat bahwa manufaktur tenaga surya di Asia merupakan proses yang rumit, dan aturan perdagangan tidak berlaku.
"Penentuan afirmatif di sini adalah, pertama dan terutama, perluasan yang cukup dramatis dari hukum perdagangan AS dan penerapan ketentuan anti-sirkumvensi (anti-pelanggaran)," ucap pengacara perdagangan yang menangani isu-isu tenaga surya dan isu-isu lainnya di Smirnow Law, John Smirnow.
Ia juga mengatakan bahwa perdagangan sangat membuka jalan baru.