Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo sempat memberikan sentilan soal kurangnya jumlah dokter spesialis di Indonesia pada medio Maret 2023.
Lima bulan berselang, mendadak ada 12 universitas yang baru saja membuka program studi (prodi) kedokteran untuk tahun ajaran 2023/2024. Mereka adalah IPB University, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Pendidikan Nasional Veteran Jawa Timur (UPN Jatim), Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Universitas Bangka Belitung (UBB), Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Institut Kesehatan Medistra, serta Institut Kesehatan Deli Husada.
Fenomena ini juga sejalan dengan dicabutnya moratorium pembukaan prodi kedokteran dan fakultas kedokteran bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia pada Desember 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang ada sejak 2016.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis baru-baru ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengamini bahwa pembukaan pendidikan kedokteran baru merupakan salah satu upaya akselerasi pemenuhan kuantitas dokter, terutama dokter spesialis.
“Karena dengan melihat kapasitas yang ada, maka jenis-jenis dokter spesialis baru dapat dipenuhi dalam 5 sampai 15 tahun ke depan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Senada, baru-baru ini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun sempat mengungkap bahwa Indonesia terbilang masih mengalami krisis jumlah dokter, terutama berdasarkan acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengisyaratkan keberadaan satu dokter per 1.000 penduduk.
Baca Juga
Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 27 Juni 2023 dilansir dari DataIndonesia.id, jumlah dokter umum di Tanah Air sebanyak 159.977 orang per 27 Juni 2023. Artinya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 273,8 juta penduduk, muncul rasio 1:1.700.
Sementara itu, jumlah dokter gigi tercatat sebanyak 35.193 orang. Adapun, jumlah dokter spesialis di rumah sakit secara nasional sebanyak 30.347 orang.
Dokter spesialis itu terbagi spesialis penyakit dalam 6.972 orang, obstetri dan ginekologi (obgyn) 6.050 orang, dokter anak 5.499 orang, spesialis bedah 3.930 orang, spesialis anestesi 3.653 orang, radiologi 2.279 orang, serta spesialis patologi klinik sebanyak 1.964 orang.
Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Hasbullah Thabrany melihat sebenarnya kurang pas apabila konteks isu krisis dokter ditanggapi dengan upaya ramai-ramai menggenjot produksi calon dokter melalui perguruan tinggi.
“Saya tidak 100 persen setuju karena pendidikan kedokteran jadi seakan-akan jualan lewat isu krisis dokter. Menurut saya, ini tidak didasarkan pada kajian yang memadai. Memang, Indonesia ada masalah kekurangan dokter spesialis dan masalah distribusinya. Tapi kalau kekurangan dokter umum, sebenarnya tidak juga,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/8/2023).
Sebab, pria yang juga Pakar Health Economics ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya beban kerja dokter umum dengan rasio 1:2.500 penduduk sebenarnya masih ideal di Indonesia. Hal ini mengacu data rata-rata jumlah pasien yang butuh layanan dokter umum di Indonesia setiap bulannya, di mana masih berkisar 18-20 persen dari total penduduk.
Oleh sebab itu, menggenjot kuantitas dokter umum lewat banyak perguruan tinggi sebenarnya tidak terlalu mendesak. Terlebih, upaya ini pun bukan solusi atas masalah yang lebih urgen, yakni distribusi dokter untuk pemerataan layanan kesehatan di seantero Tanah Air, baik terkait dokter umum, maupun dokter spesialis.
“Masalahnya, dokter jangan hanya dituntut mengabdi di daerah, tapi tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya selama studi, serta beban jam praktiknya sehari-hari dalam rangka mengejar target. Apalagi dokter spesialis yang sekolahnya saja lama,” jelas Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universtas Indonesia ini.
Dirinya mengaku khawatir apabila jawaban pemerintah untuk isu krisis dokter hanya dengan memperbanyak lulusan kedokteran, efek negatifnya akan mulai terasa sekitar 10 tahun mendatang, di mana akan semakin banyak dokter muda yang tidak terserap pasar.
Untuk itu, Hasbullah menyarankan pemerintah lebih baik semakin memprioritaskan kebijakan untuk mendorong rumah sakit (RS) segera menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis. Menurutnya, upaya terkait hal ini jauh lebih relevan dan urgen untuk kondisi terkini, dalam konteks mengatasi isu krisis dokter di Indonesia.
“RS pendidikan untuk mencetak spesialis itu yang harus digenjot duluan, bukan memperbanyak fakultas kedokteran umum. Karena spesialis itu pendidikan yang memang harus memperbanyak pengalaman sejak dini, lewat menangani pasien di bawah supervisi dokter yang sudah kompeten,” tambah Hasbullah.
Menurut Hasbullah, salah satu upaya mendorong RS mencetak dokter spesialis bisa diawali dengan memberikan insentif dan fasilitas bagi para dokter spesialis existing, dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pendidik atau trainer para calon dokter spesialis muda.
Selain itu, output dari RS pendidikan pun dinilainya bisa menjembatani isu kekurangan dokter spesialis di daerah pelosok, yakni lewat mekanisme penerapan sertifikasi berbasis pengalaman praktik yang utamanya menyasar para dokter muda.
“Misalnya, ada pasien yang butuh operasi polip hidung di daerah pelosok. Ini bisa ditangani dokter yang sudah punya sertifikasi kompetensi untuk melakukan operasi hidung, walaupun dia masih berproses jadi spesialis THT, misalnya. Ini lebih efisien ketimbang mencetak dokter spesialis dari nol untuk diminta mengabdi ke daerah,” tutupnya.