3. Mandatory spending
Pasal lainnya yakni yang mengatur mengenai mandatory spending atau alokasi anggaran.
DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.
Penghapusan ini bertujuan agar mandatory spending dapat menjalankan program strategis tertentu di sektor kesehatan diharapkan bisa berjalan maksimal.
Artinya, lenyapnya mandatory spending sebenarnya bukan memperbaiki kualitas anggaran kesehatan, namun justru memperkecil kontribusi anggaran kesehatan dalam peningkatan defisit APBN.
Akibatnya, proyek-proyek yang membutuhkan anggaran besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan proyek infrastruktur lainnya, akan mendapatkan porsi yang sangat besar dalam kas negara.
4. Kriminalisasi nakes
Pada pasal 462 ayat 1, dikhawatirkan tenaga kesehatan dan medis akan menghadapi potensi kriminalisasi dalam menjalankan prakteknya.
Baca Juga
"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian tertulis dalam pasal tersebut. Lalu, pada ayat 2 tertulis, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".
Pasal ini berpotensi memunculkan kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.
5. Dipermudahnya izin nakes asing di Indonesia
Kontroversi lainnya yakni dipermudahnya nakes asing di Indonesia, di mana dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik dengan syarat lulus pendidikan spesialis.
Persyaratan yang harus dikantongi mereka untuk membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktik.
Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis, mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu. Aturan tersebut dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Padahal selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.