Bisnis.com, JAKARTA - Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), dan PP No 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan), menimbulkan tantangan besar.
Penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus dirancang untuk menyederhanakan regulasi dengan menggabungkan berbagai aspek dalam satu payung hukum. Namun, ketika diterapkan pada sektor yang kompleks dan krusial seperti kesehatan, tantangan ini menjadi lebih signifikan.
Dalam konteks PP Kesehatan, regulasi yang menggabungkan berbagai sektor kesehatan seperti fasilitas kesehatan, perbekalan farmasi, tenaga kesehatan, hingga pengendalian tembakau serta gula garam dan lemak, dapat menciptakan risiko inkonsistensi dan ketidakselarasan produk hukum sehingga bermuara pada regulasi yang tidak mampu menghadirkan kepastian hukum.
Sektor kesehatan memiliki banyak dimensi yang unik dan spesifik, sehingga pengaturan yang terlalu luas dan seragam bisa menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan sulit diimplementasikan di lapangan.
Berkaca dari pengalaman penerapan metode Omnibus di UU tentang Cipta Kerja yang juga menuai banyak polemik di sektor ketenagakerjaan, Kemenkes perlu banyak berdiskusi dengan Kementerian/Lembaga lain selaku pembina sektor terkait dan pemangku kepentingan terdampak yang lebih paham kondisi di lapangan.
Pengaturan yang lebih holistik, spesifik dan konkret dapat membantu mengurangi kerancuan, memperjelas tanggung jawab, serta menghindari beban implementasi dan penegakan hukum. Selain itu, metode omnibus ini memang memiliki kelemahan ketika diterapkan pada sektor-sektor dengan karakteristik yang sangat berbeda.
Baca Juga
Ketika satu lembaga pemerintah diberikan terlalu banyak kewenangan dan otoritas untuk mengatur berbagai sektor yang seharusnya berada di bawah kementerian atau lembaga lain, ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, miskoordinasi dan tidak tercapainya tujuan pembuatan regulasi itu sendiri.
Hal ini bisa menimbulkan resistensi dari lembaga-lembaga lain, ketidakpastian dalam implementasi kebijakan, dan juga kekhawatiran publik tentang transparansi dan akuntabilitas regulasi yang dihasilkan sekaligus inisiatornya.
Selain itu, meluncurkan regulasi yang sangat kompleks dan luas di tengah situasi yang penuh tantangan—seperti ketidakstabilan politik, pelemahan ekonomi, dan gelombang PHK—dapat dilihat sebagai tindakan yang kurang bijak dan minim empati.
Kemenkes, dalam hal ini, perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan ini, terutama di saat masyarakat dan sektor-sektor tertentu sedang dalam kondisi rentan.
PP Kesehatan ini mencakup berbagai pengaturan yang restriktif akan berdampak pada keseluruhan mata rantai pertembakauan Indonesia. Dampaknya akan masif dan menyebabkan jutaan orang kehilangan mata pencahariannya, dan memunculkan gejolak sosial. Tentunya analisa dan pemikiran ini hanya bisa diperoleh jika Kemenkes cukup bijak banyak menjalin dialog dan komunikasi dengan Kementerian/Lembaga lain bukan hanya terpatri pada para ahli atau lembaga pemerhati bidang kesehatan.
Mengatasi isu-isu yang kompleks dalam regulasi kesehatan membutuhkan pendekatan yang hati-hati, inklusif, dan kolaboratif. Kemenkes harus menghindari tindakan yang dapat dilihat sebagai dominasi kekuasaan dan kurangnya empati terhadap situasi masyarakat.
Solusi terhadap situasi nasi yang telah menjadi bubur dapat diupayakan melalui beberapa tindak lanjut.
Pertama, dialog dan kolaborasi antarlembaga. Kemenkes seharusnya meningkatkan dialog dan kolaborasi dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti Kemenkeu, Kemenkominfo, Kemenperin, Kementan, Kemenaker, Kemendag, dan Kemenko PMK. Penyusunan kebijakan yang melibatkan banyak sektor memerlukan pendekatan yang lebih kolaboratif untuk menghindari dominasi satu lembaga atas yang lain.
Hal ini akan membantu menciptakan kebijakan yang lebih komprehensif dan diterima oleh semua pihak. Hal sederhana ini juga dipercaya mampu memperkaya perspektif Kemenkes agar tidak seperti memakai kaca mata kuda dalam menghasilkan kebijakan.
Contoh paling berhasil adalah saat kebijakan kesehatan diselaraskan dengan pertimbangan stabilitas sosial ekonomi saat pandemi Covid-19. Hasilnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan penanggulangan situasi pandemi terbaik di dunia.
Kedua, penyesuaian yang lebih inklusif: Kemenkes perlu mempertimbangkan untuk melakukan penyesuaian implementasi terhadap aturan-aturan yang menimbulkan polemik dan penolakan dengan melibatkan lebih banyak masukan dari publik khususnya pemangku kepentingan terdampak, lembaga lain, serta para ahli di bidang nonkesehatan.
Proses ini bisa dilakukan melalui konsultasi publik, uji kelayakan, dan dialog dengan para pemangku kepentingan yang lebih luas.