Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan kerugian keuangan negara pada korupsi bantuan sosial (bansos) beras Program Keluarga Harapan (PKH) 2020-2021 di Kementerian Sosial (Kemensos).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kasus tersebut merupakan pengembangan dari kasus suap bansos Covid-19, yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
KPK menyebut tengah mengusut adanya kerugian keuangan negara pada kasus yang dilakukan pengembangan tersebut dengan menggunakan pasal 2 dan 3 Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, tentang kerugian keuangan atau perekonomian negara.
"Kita melihat ini [kasus bansos PKH] dari sisi ketentuan tidak sesuai, dan kami menduga ada terjadinya kerugian keuangan negara, jadi, ke pasal 2 dan 3 [Undang-undang Tindak Pidana Korupsi]," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dikutip Jumat (9/6/2023).
Sebelumnya, KPK sempat menyebut kasus bansos PKH 2020-2021 yang tengah disidik ini merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Namun, lembaga antirasuah sampai belum memastikan angka kerugian secara spesifik, maupun melakukan penahanan terhadap pihak-pihak tersangka.
Baca Juga
Selain kerugian keuangan negara, KPK mengusut dugaan adanya modus fiktif dalam penyaluran bansos tersebut. Kendati demikian, dugaan penerimaan fiktif atas bantuan pemerintah itu dinilai bakal sulit dibuktikan.
Menurut Alex, kesulitan tersebut lantaran banyaknya jumlah penerima manfaat bansos PKH tersebut. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saja, penerima manfaat bansos PKH melalui Kemensos pada 2023 saja mencapai 9,9 juta keluarga, per April.
"Jadi, kita harus melihat juga dari sisi pemeriksaan itu juga termasuk dalam proses penghitungan kerugian negara mana kira-kira yang memungkinkan dan cepat kita lakukan," terang Alex.
Pengusutan kerugian keuangan negara pada kasus bansos PKH 2020-2021 merupakan pengembangan kasus suap bansos Covid-19 era Juliari Batubara. Sebelumnya, Juliari divonis hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat.
Alex mengaku lembaganya ingin mengembangkan penyidikan kasus yang awalnya hanya terkait dengan suap, ke aspek kerugian keuangan negara.
"Sebenarnya itu kan pengembangan dari kasus suap Menteri sebelumnya [Juliari]. Dulu kan hanya menyangkut suap," terangnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Juliari terbukti menerima Rp32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bansos pandemi Covid-19. Saat penyidikan kasusnya, KPK menemukan bahwa harga paket sembako yang dipatok kementeriannya tidak sebesar Rp300.000.
KPK menemukan bahwa adanya fee yang dijanjikan Rp10.000 untuk setiap paket bansos senilai Rp300.000. Modus lain yang juga ditemukan KPK yakni perusahaan rekanan atau vendor yang mengadakan paket bansos itu ternyata tidak punya kemampuan atau kapasitas dalam menyalurkan sembako.
"Dia memenangkan lelang atau ditunjuk sebagai penyedia sembako tapi ternyata kemudian dia mensubkontrakkan ke perusahaan yang lain," terang Alex.
Di sisi lain, Menteri Sosial saat ini, Tri Rismaharini, menyebut tak tahu menahu soal perkara dugaan korupsi bansos PKH yang tengah disidik KPK.
Risma mengaku juga tidak tahu banyak soal penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK di kantor Kemensos pada akhir Mei 2023 lalu. Dia memilih tidak berkomentar mengenai hal tersebut lantaran tidak boleh mengikuti proses penggeledahan.
Mantan Wali Kota Surabaya itu juga mengaku tidak mengetahui terkait dengan perkara korupsi yang melatarbelakangi penggeledahan. Menurutnya, hal tersebut karena dia baru dilantik sebagai menteri sosial pada akhir 2020.
Sementara itu, lanjutnya, perkara yang didalami lembaga antirasuah, yakni terkait dengan bansos beras PKH 2020-2021.
"Saya dilantik oleh Pak Presiden 27 Desember 2020, dan ini sekitar bulan September dan tadi saya sudah lengkapi ke BPKP dan saya konsultasi hasilnya, jadi saya tidak tahu. Jadi kalau teman-teman tanya masalahnya di mana saya tidak tahu," ujarnya di kantor Kemensos, Rabu (24/5/2023).
Adapun, saat ini KPK telah menetapkan beberapa tersangka dalam kasus tersebut. Satu di antaranya, yakni mantan Direktur Utama PT Transjakarta (Perseroda) Kuncoro Wibowo.
Kuncoro dan lima orang lainnya, juga telah dicegah untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan pertama oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.