Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah menyiapkan sejumlah fasilitas keimigrasian bagi korban terdampak peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang masih berada di luar negeri atau eksil.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Dhahana Putra mengatakan bahwa fasilitas tersebut sejalan dengan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) No.2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
Kemenkumham disebut bisa berperan dalam memberikan kemudahan fasilitas keimigrasian bagi eksil politik atau termasuk eks Mahasiswa Ikatan Dinas Indonesia (Mahid) di era Presiden Soekarno.
"Setelah ini mungkin ada informasi terkait langkah-langkah yang akan dilakukan keimigrasian untuk memberikan pelayanan prioritas bagi eksil," ujar Dhahana saat ditemui di Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Arahan Presiden tentang Pelanggaran Ham Berat (PHB), Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Dia mengatakan bahwa kemudahan fasilitas keimigrasian yang bisa diberikan oleh para eksil tersebut yaitu:
a. Izin tinggal sesuai dengan ketentuan yg berlaku (ITAS/ITAP) melalui prosedur Repatriasi ex. Warga Negara Indonesia (WNI);
b. Memperoleh Kewarganegaraan RI dengan syarat harus melepaskan kewarganegaraan asing melalui prosedur yang berlaku;
c. Fasilitasi keimigrasian bagi anak berkewarganegaraan ganda;
d. Visa kunjungan beberapa kali perjalanan, dapat diberikan dengan masa berlaku lima tahun kepada orang asing, dengan persyaratan;
e. Visa Rumah Kedua untuk WNA dan Eks WNI; dan
f. Golden Visa.
Namun demikian, Dhahana mengatakan bahwa tidak semua eksil yang ada di luar negeri saat ini ingin kembali menjadi WNI.
Dia menyebut telah memetakan potensi keinginan dari sejumlah eksil yang saat ini sudah diketahui.
Pertama, ada eksil politik eks WNI yang menyatakan bakal tetap menjadi Warga Negara Asing (WNA).
Kedua, mereka yang ingin kembali menjadi WNI.
Ketiga, eksil politik di luar negeri yang ingin memeroleh kemudahan berkunjung ke Indonesia.
Keempat, mereka yang ingin menjadi WNI, tetapi tidak melepas status WNA.
"Nah, yang potensi keempat ini agak sulit karena memang undang-undang kewarganegaraan kita itu menganut asas single citizenship, kecuali yang usia 18 tahun ke bawah itu double citizenship," ujar Dhahana.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), data awal menunjukkan bahwa terdapat 30 eksil politik eks WNI yang berada di Kawasan Eropa.
Secara terperinci, mereka tersebar di Republik Ceko, Rusia, Swedia, Bulgaria, Albania, dan Kroasia.
"Ini data awal, tetapi data itu kami [akan] upgrade kembali karena insya Allah kami rapat lagi dengan perwakilan di berbagai negara khususnya di Eropa Timur," lanjut Dhahana.
Untuk itu, kini Kemenkumham dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya tengah melaksanakan rapat koordinasi atas tindak lanjut Inpres No.2/2023 tersebut.
Rapat itu diikuti juga oleh Kemenko Polhukam, Kemenlu, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kantor Staf Presiden (KSP), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Seperti diketahui, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam 12 peristiwa, yaitu peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Selanjutnya, peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Melalui Inpres No.2/2023, Jokowi memerintahkan 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa penyelesaian nonyudisial ini menitikberatkan kepada korban dan bukan pelaku.
"Karena kalau menyangkut pelaku, itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," ujarnya.