Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tantangan Besar Koalisi Besar

Jika koalisi besar terbentuk, mereka akan menghadapi tantangan besar untuk menentukan capres dan cawapres yang diusung pada Pilpres 2024.
Menteri Pertahanan Pabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo saat Idulfitri, Senin (2/5/2022)./Instagram @prabowo
Menteri Pertahanan Pabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo saat Idulfitri, Senin (2/5/2022)./Instagram @prabowo

Bisnis.com, JAKARTA -- Komunikasi politik belakangan ini terjadi cukup intens. Sejumlah elite politik mulai melakukan manuver. Mereka saling berkunjung dan membicarakan potensi koalisi untuk menghadapi Pemilu maupun Pilpres 2024.

Isu yang belakangan ini santer terdengar adalah wacana pembentukan koalisi besar. Anggota koalisi ini rencananya berasal dari gabungan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Gerindra dan PKB), Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari tiga partai yani Partai Golkar, PAN, dan PPP, serta PDI Perjuangan (PDIP) kalau jadi.

PDIP tanpa koalisi besar, sejatinya bisa mengusung calon presiden tanpa harus koalisi. Namun jika melihat konstelasi politik yang terjadi baru-baru ini, PDIP sepertinya mulai mencoba untuk melobi partai-partai, salah satunya bergabung dalam koalisi besar.

Itu artinya, mayoritas anggota koalisi nantinya adalah pendukung pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi, minus NasDem yang memilih mendukung Anies Baswedan. Wajar jika kemudian banyak pihak menuding ada peran Jokowi dibalik wacana pembentukan koalisi jumbo.

Namun demikian, andai koalisi ini benar-benar terwujud sejumlah tantangan telah menanti di depan mata. Pertama, menyatukan pandangan partai anggota koalisi yang secara praktik memiliki perbedaaan platform. Kedua, pekerjaan rumah mengenai capres dan cawapres yang akan mereka usung dalam konstestasi Pilpres 2024 mendatang. 

Sekadar catatan, hampir setiap koalisi telah menetapkan calon presidennya masing-masing. KIB misalnya, memiliki banyak bakal capres salah satunya Airlangga Hartarto. Koalisi Gerindra dan PKB telah mengerucut kepada sosok Prabowo Subianto. Elite PKB bahkan beberapa kali menegaskan menyambut wacana koalisi besar tersebut. Namun demikian soal capres pencapresan mereka yang menentukan.

Sebaliknya, kalau PDIP turut serta, masalah penunjukkan capres akan menjadi lebih pelik lagi. Partai bersimbol banteng gemuk itu telah berulangkali menegaskan keinginannya untuk mengusung kadernya sendiri sebagai capres. Di PDIP ada sosok Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Ganjar bahkan menjadi pemuncak elektabilitas di sejumlah lembaga survei.

Kendati diliputi ketidakpastian soal capres pencapresan, wacana pembentukan koalisi besar itu nyatanya terus menggelinding dan ditanggapi serius elite partai.

Keseriusan pembentukan koalisi besar pertama kali terlihat dalam ajang silaturahmi yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN) pada Minggu (2/3/2023). Pada momen tersebut, para petinggi lima parpol pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat akrab bercengkerama.

Saat itu hadir pimpinan Partai Golkar, PAN, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal, antara kelima parpol itu ada dua poros koalisi yang sudah terbentuk.

Usut punya usut, Golkar mengakui pertemuan antara KIB dan KKIR itu merupakan penjajakan awal wacana pembentukan koalisi besar. Golkar mengatakan pihaknya mengeksplorasi kemungkinan KIB-KKIR melebur jadi satu koalisi.

"Sekarang sudah mulai dijajaki. Penjajakan pertama itu kan adanya pembicaraan tingkat awal soal komunikasi dibangun antara KIB dengan KKIR gitu ya," ujar Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Selasa (4/4/2023).

Optimisme PDIP

Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah mengungkap bahwa wacana pembentukan koalisi besar tak lama lagi akan terwujud."Kerja sama politik yang kita harapkan bersama dan menjadi perhatian publik [koalisi besar], insya Allah, tidak dalam waktu lama akan tercapai," ungkap Said di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023).

Dia menjelaskan, koleganya Puan Maharani sudah melakukan komunikasi politik mendalam dengan para ketua umum (ketum) partai politik (parpol) lain seperti Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan.

"Pembicaraan Mbak Puan sama Bapak Prabowo sangat insentif, boleh dikonfirmasi sama Pak prabowo. Pembicaraan Mbak Puan dengan Ketum Airlangga juga intensif sekali, boleh dicek ke Pak Airlangga juga. Dengan Ketum PAN Bang Zul, semuanya kami komunikasi intensif," ujar Ketua Badan Anggaran DPR itu.

Tak hanya itu, Said mengatakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto juga terus berkomunikasi dengan sekjen parpol pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lainnya. Dia menyakini pembentukan koalisi besar tak akan lama lagi. Bahkan, Said berharap sesudah Lebaran koalisi besar itu akan terwujud.

"Insya Allah lah, yang lebih baik memang sesudah Ramadan, sesudah Lebaran," jelas Said. Sedangkan untuk kandidat capres, PDIP masih kukuh ingin mengsung kadernya. "Kami DPP PDIP di bawah Ketum tetap akan mencalonkan calon dari internal partai," ungkap Said.

PDIP Bakal Ditinggal?

Di sisi lain, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiarti menilai PDI Perjuangan (PDIP) bisa kembali memanfaat kelompok relawan jika nantinya dikepung koalisi besar pada Pilpres 2024.

Aisah menjelaskan, koalisi besar dapat memunculkan ruang alternatif seperti jaringan relawan seperti kejadian Pilpres 2014. Saat itu, banyak kelompok relawan Joko Widodo (Jokowi) yang bermunculan sebagai respons untuk melawan koalisi besar lawan yang mendukung Prabowo Subianto.

“Pada Pilpres 2014, banyak jaringan relawan kemudian terbentuk untuk mendukung Jokowi sebagai bagian dari strategis politik saat itu untuk melawan koalisi besar yang dimiliki Prabowo sebagai kompetitornya,” jelas Aisah kepada Bisnis, dikutip Kamis (13/4/2023).

Pada Pilpres 2014, pasangan calon Jokowi-Jusuf Kalla memang hanya didukung koalisi minor dibanding koalisi yang mendukung Prabowo-Hatta Rajasa.

Saat itu, Jokowi-JK hanya didukung koalisi partai politik (parpol) yang merepresentasikan 36,4 kursi di DPR (PDIP, PKB, NasDem, Hanura), sedangkan Prabowo-Hatta Rajasa didukung oleh koalisi parpol mayoritas yang mewakili 51,9 persen kursi di DPR (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP).

Meski begitu, nyatanya pasangan Jokowi-JK dapat menang dari Prabowo-Hatta. “Dari pengalaman itu juga menunjukkan bahwa koalisi besar tidak selalu berujung pada kemenangan dalam pemilu,” ujar Aisah.

Koalisi besar, lanjutnya, akan berdampak ke penentuan strategi politik para peserta pilpres. Koalisi besar tentu akan diuntungkan sebab terjadi penumpukan modal sosial-politik serta materiil pada kandidat yang didukung.

“Partai politik yang punya pemikiran menang dalam pemilu, tentu akan memilih bergabung dengan koalisi besar yang punya kekuatan politik dan finansial besar juga,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, parpol yang dikepung koalisi besar akan memanfaat kekuatan massa di luar parpol, seperti kelompok relawan. Apalagi, jika dia yakin kandidat yang didukungnya dapat melawan kandidat koalisi besar.

“Kecuali jika partai itu yakin bahwa kandidat yang diusungnya sangat populer hingga mampu menang, dan punya kekuatan modal sosial-politik dan finansial kuat dari dukungan di luar koalisi partai politiknya, seperti yang berlangsung pada Pilpres 2014,” lanjut Aisah

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper