Tanah Merah Plumpang, Lahan Sengketa yang Jadi Korban Kebakaran Depo Pertamina
Sejarah Tanah Merah Plumpang
Melansir dari berbagai sumber, tanah merah adalah lahan seluas lebih dari 160 hektar persegi di kawasan Plumpang, Jakarta Utara.
Sebagian besar tanah yang dikeruk di kawasan ini berwarna merah, maka dari itu populerlah nama tanah merah untuk wilayah tersebut.
Sekitar 1965 ada sembilan kepala keluarga yang tercatat menghuni wilayah tersebut. Permukiman padat terbentuk pada 1986 seiring banyaknya pendatang.
Pertamina datang dan menempati sebagian kecil wilayah tanah merah sekitar tahun 1970-an. Kelak hal ini akan menimbulkan masalah yang berlangsung hingga saat ini.
Sengketa mulai terjadi sekitar 1992. Menurut versi warga, Pertamina secara sepihak mengeklaim tanah merah sebagai wilayah yang mereka miliki.
Pertamina pun mulai menggusur warga hingga muncul ketegangan antara kedua belah pihak.
Baca Juga
Setelah dibawa ke meja hijau, perkara tersebut dimenangi warga. Pertamina diminta membayar ganti rugi kepada warga yang terdampak penggusuran di Tanah Merah.
Namun masalah tak berhenti sampai di situ, warga menyebut luas Depo Pertamina yang berdiri di Tanah Merah terus bertambah.
Per 2012, luas Depo Pertamina yang mulanya hanya 4,8 hektare, tiba-tiba bertambah jadi 15 hektare.
Hingga kini pun status sengketa lahan di Tanah Merah belum juga terselesaikan. Pertamina kekeh memperluas depo, sementara warga enggan pergi karena mengeklaim wilayah itu punya mereka.
Hal itu yang membuat Depo Pertamina berdiri berdampingan dengan permukiman padat penduduk di Plumpang.
Tanah Merah Jadi Isu di Pilgub DKI Jakarta
Sengketa Tanah Merah juga jadi bahan kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
Calon Gubernur DKI Jakarta (Cagub) Anies Baswedan kala itu menjanjikan warga di Tanah Merah akan mendapatkan sertifikat atas rumahnya.
Bahkan di media sosial beredar foto secarik kertas yang berisi "kontrak politik" Anies Baswedan dengan warga Tanah Merah.
Anies Baswedan berdialog dengan warga Tanah Merah, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara dalam rangka kampanye Pilgub.
Dalam dialog tersebut, Anies disodori kontrak politik oleh warga jika berhasil menang pada 15 Februari 2017. Kontrak politik itu berisi tuntutan warga agar Anies Baswedan memenuhi hak dan memberikan perlindungan bagi warga Tanah Merah.
Salah satunya, warga Tanah Merah meminta untuk melegalkan kepemilikan tanah karena mereka telah menetap selama lebih dari 20 tahun.
Di sisi lain, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mewanti-wanti Anies untuk berhati-hati dengan sengketa di Tanah Merah.
Ahok yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menyebut bahwa pihaknya akan memberikan data terkait sengketa Tanah Merah apabila diminta.
Ahok mengaku tidak bisa menjelaskan permasalahan apa yang ada di Tanah Merah. Namun, dia berharap Anies Baswedan atau tim suksesnya akan datang ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk meminta data.
"Pak Anies, tim suksesnya itu datanglah ke Balai Kota minta ke Bappeda semua. Semua open data, semua ada. Kasihan kalau sampai ngomong sesuatu janji sesuatu yang tidak mengerti masalah," ujar Ahok kala itu.
Akhirnya pada 16 Oktober 2021 setelah Anies terpilih menjadi Gubernur DKI, ia menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sementara kawasan kepada warga Kampung Tanah Merah.
IMB Kawasan adalah izin itu berlaku untuk satu RT dalam satu kawasan. Dengan izin itu, warga Kampung Tanah Merah bisa mengakses kebutuhan dasar seperti listrik dan air.
"Ini adalah jalan tengah yang kami ambil untuk menyelesaikan masalah bangunan-bangunan yang berada di tanah yang status legalnya belum tuntas, tapi mereka faktanya ada di tempat ini sudah puluhan tahun. Jadi izin mendirikan bangunan bukan diberikan per bangunan, tapi diberikan per RT. Ini pertama kali di Indonesia ada IMB berbentuk kawasan," kata Anies Baswedan pada 16 Oktober 2021.