Bisnis.com, JAKARTA - Tidak terasa kurang dari 1 tahun lagi hajatan demokrasi lima tahunan pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 akan berlangsung. Menjelang akhir tahun lalu, Komisi Pemilihan Umum secara resmi menetapkan 18 partai politik nasional peserta pemilu pada 14 Feberuari 2024 mendatang.
Salah satu agenda penting patut mendapatkan perhatian publik dalam pemilu 14 Februari 2024 tersebut adalah pemilihan anggota legislatif di tingkat DPR RI, DPRD provinsi hingga DPRD kabupaten dan kota. Harus diakui sejak beberapa bulan terakhir ini, berbagai pemberitaan di media massa cetak dan elektronik serta perbincangan di media sosial mengenai pemilu 2024 makin ramai terdengar.
Akan tetapi, riuh rendah pemberitaan dan perbincangan di ruang publik terkait pemilu 2024 masih sangat didominasi oleh pembahasan mengenai para bakal calon presiden akan bertarung dalam pemilihan presiden mendatang ketimbang pemilihan anggota legislatif.
Apa boleh buat jabatan presiden dan juga wakil presiden memang terasa sangat sentral. Tidak heran apabila kemudian pemberitaan dan perbincangan di ruang publik sangat didominasi mengenai hal tersebut. Lebih lanjut, perhatian publik pun menjadi jauh lebih besar terhadap pemilihan presiden daripada pemilihan anggota legislatif.
Selain itu, pemilihan presiden mendatang sudah barang tentu akan menampilkan beberapa pasangan calon saja sehingga perhatian dari sebagian besar orang lebih terarah kepada nama-nama bakal calon presiden. Bandingkan dengan pemilihan legislatif di mana jumlah partai politik peserta pemilu 2024 mendatang mencapai 18 partai politik, kecuali di Provinsi Aceh terdapat tambahan enam partai politik lokal.
Jumlah 18 partai politik tersebut masih ditambah dengan nama-nama calon legislatif (caleg). Hal itu jelas membuat konsentrasi dan perhatian publik terhadap pemilihan presiden jauh lebih tinggi daripada pemilihan anggota legislatif.
Baca Juga
Sebelum pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden digabungkan, dalam pemilu-pemilu terdahulu pun pemilihan anggota legislatif juga sudah terasa kurang greget.
Desain pelaksanaan pemilu sejak pemilu terakhir 4 tahun lalu di mana pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden untuk kali pertama dilaksanakan bersamaan dalam 1 hari, membuat eksistensi partai-partai politik serta juga caleg menjadi makin kurang terasa.
Akibat lebih lanjut dari hal itu, dalam menjatuhkan pilihan di pemilihan legislatif sangat mungkin pemilih akan cenderung melakukan secara asal-asalan. Bahkan, bukan tidak mungkin terbuka kemungkinan memilih atas dorongan imbalan pemberian uang atau barang.
Desain pemilihan anggota legislatif sangat rumit sebagai digambarkan di atas membuat pemilih akan cenderung menentukan pilihan kepada orang-orang hadir di hadapan mereka dengan turut membawa imbalan materi tertentu.
Meskipun pemberitaan dan perbincangan di ruang publik mengenai pemilihan anggota legislatif di ruang publik tidak seramai mengenai pemilihan presiden, tetapi bukan berarti pemilihan anggota legislatif dapat diabaikan begitu saja dari perhatian kita sebagai pemilih.
Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap mantan anggota DPR RI Hasan Aminuddin tahun lalu serta juga terhadap puluhan legislator selama beberapa tahun terakhir ini cukuplah memberikan gambaran bagaimana kondisi parlemen kita hari ini di mana masih dilingkupi oleh perilaku korup para anggota.
Problem lembaga legislatif kita juga tidak berhenti sebatas kasus korupsi saja. Isu persoalan representasi dari para anggota dewan juga dinilai masih belum berjalan baik.
Dalam pemilihan anggota DPR RI di pemilu 2019 lalu, salah satu hal paling mencolok terjadi adalah berbagai pergeseran daerah pemilihan dan migrasi sejumlah caleg petahana untuk meninggalkan partai politik asal mereka berpindah menuju partai politik lain.
Salah satu faktor paling menentukan pergeseran dan migrasi tersebut adalah kebutuhan untuk tetap terpilih dan eksis di DPR RI serta juga eksperimen partai politik akibat perubahan regulasi pemilihan, seperti perubahan metode konversi suara menjadi dari semula memakai metode qouta hare kini metode sainte lague.
Migrasi caleg petahana terjadi melalui pembajakan kader-kader partai politik lain. Caleg-caleg petahana kembali maju di daerah pemilihan sama seperti mereka maju di Pemilu 2014, tetapi dari partai politik berbeda. Beberapa caleg itu antara lain Rita Zahara pindah dari Partai Gerindra menuju Partai NasDem tetapi tetap maju di daerah pemilihan Riau I. Kemudian Dadang Rusdiana pindah dari Partai Hanura menuju Partai NasDem dan tetap maju di daerah pemilihan Jawa Barat II.
Selain migrasi caleg petahana meninggalkan partai politik asal mereka untuk berpindah menuju partai politik lain, hal lain juga menarik untuk dicermati dari pencalonan para caleg DPR RI di pemilu 2019 adalah pergeseran daerah pemilihan dialami caleg. Mereka tidak berpindah partai politik, tetapi ditugaskan partai politik tempat mereka bernaung untuk berpindah daerah pemilihan baru dari daerah pemilihan mereka terpilih di pemilu 5 tahun lalu.
Motivasi utama partai politik mengeluarkan kebijakan pergeseran daerah pemilihan itu terutama didorong realitas politik Pemilu 2014 di mana partai politik bersangkutan tidak berhasil memperoleh kursi DPR RI dari daerah pemilihan tersebut. Motif lain adalah memperbesar kursi atau mengganggu basis politik partai lain. Beberapa caleg mengalami pergeseran daerah pemilihan di Pemilu 2019 antara lain Budiman Sudjatmiko dari PDI Perjuangan. Mantan aktivis mahasiswa di era Orde Baru ini pada Pemilu 2014 maju melalui daerah pemilihan Jawa Tengah VIII, tetapi di pemilu 2019 maju melalui daerah pemilihan Jawa Timur VII. Kemudian Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dari Partai Amanat Nasional. Di pemilu tahun 2014 Eko Patrio maju melalui daerah pemilihan Jawa Timur VIII, tetapi di pemilu tahun 2019 maju melalui daerah pemilihan DKI Jakarta I demi memenuhi target partai besutan Zulkifli Hasan tersebut “pecah telor” di daerah pemilihan DKI Jakarta I.
Pergeseran daerah pemilihan ini tentu saja kabar buruk bagi pemilih. Pemilih tidak bisa melakukan evaluasi kinerja serta memberikan reward and punishment terhadap anggota legislatif petahana tersebut karena tidak lagi mencalonkan diri dari daerah pemilihan sama. Tepat pada titik inilah persoalan representasi pun mengemuka.
Selain kecenderungan perilaku korup anggota parlemen dan problem representasi, alasan lain mengapa pemilihan anggota legislatif 14 Februari 2024 penting untuk memperoleh perhatian lebih dari pemilih adalah karena hajatan demokrasi lima tahunan itu memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia.
Sebagaimana terjadi juga di pemilu terdahulu, pelaksanaan pemilu tahun depan diprediksi juga akan berdampak terhadap perilaku konsumsi dan jumlah uang beredar. Peningkatan konsumsi dan jumlah uang beredar terutama disebabkan berbagai kebutuhan logistik harus dikeluarkan oleh para caleg dan juga partai politik. Berbagai kebutuhan logistik itu antara lain mencakup peembuatan dan distribusi berbagai atribut sosialisasi seperti kaos, spanduk, baliho, belanja iklan di media massa, dan lain-lain.
Dampak pemilu tersebut dapat dilihat dari peningkatan Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non-Profit Rumah Tangga. Sebagai contoh, pada pemilu 5 tahun lalu Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non-Profit Rumah Tangga tercatat tumbuh 16,93% pada kuartal I/2019. Ini jauh lebih tinggi dibadingkan dengan kuartal I/2018 di mana tumbuh 8,10% saja. Inilah dampak langsung dari pelaksanaan pemilu terhadap kehidupan perekonomian Indonesia.
Namun, jauh lebih penting harus disadari oleh pemilih adalah dampak tidak langsung dari pelaksanaan pemilu terhadap kehidupan perekonomian Indonesia di masa depan. Dampak tidak langsung itu akan datang dari berbagai kebijakan kelak akan dilahirkan dari hasil kontestasi pemilu 2024. Apabila Pemilu 2024 mampu menghasilkan para anggota legislatif dan juga pemangku kebijakan di lembaga eksekutif dengan visi misi ekonomi sangat baik, maka dampak positif jangka panjang terhadap kehidupan perekonomian akan turut dirasakan.