Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akankah Jokowi Merombak Menteri-menteri dari NasDem?

Dorongan reshuffle muncul karena keputusan partai NasDem yang mengusung Anies Baswedan sebagai capres di Pilpres 2024.
Presiden Joko Widodo menerima patung dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, yang merupakan simbol 10 tahun dukungan Nasdem tanpa henti kepada Jokowi di acara HUT Partai Nasdem di Jakarta, Kamis, 11 November 2021 / Youtube Nasdem TV
Presiden Joko Widodo menerima patung dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, yang merupakan simbol 10 tahun dukungan Nasdem tanpa henti kepada Jokowi di acara HUT Partai Nasdem di Jakarta, Kamis, 11 November 2021 / Youtube Nasdem TV

Bisnis.com, JAKARTA — Kabar mengenai perombakan atau reshuffle kabinet di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, kembali menghangat. Pemicunya adalah dinamika dukung mendukung partai politik terhadap kandidat presiden menuju Pemilu 2024.

Menghangatnya suhu politik di dalam negeri tak lepas dari manuver Partai Nasional Demokrat (Nasdem), anggota koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, yang mengusung Anies Baswedan sebagai kandidat presiden.

Anies menyingkirkan dua kandidat lain yang sempat ditimang-timang Partai Nasdem yakni Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) dan Andika Perkasa (mantan Panglima TNI).

NasDem kemudian mengumumkan Anies, mantan anggota tim pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Pilpres 2014, sebagai capres dari Partai Nasdem pada Oktober 2022. Sejak keputusan partai pimpinan raja media Surya Paloh itu, banyak yang menilai Nasdem sudah tidak lagi layak berada di kabinet Indonesia Maju.

Tiga menteri representasi Partai Nasdem seperti Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup), dan Johnny G. Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), ramai digosipkan bakal dieliminasi dari kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Ketidakpantasan Nasdem untuk bertahan di kabinet berangkat dari penilaian terhadap sosok Anies Baswedan. Sejak dicopot Presiden Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Juli 2016 dan terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017, Anies Baswedan direpresentasikan sebagai sosok yang berlawanan dengan Jokowi. Anies adalah antitesis Jokowi.

Ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memilih untuk menerima pinangan Jokowi bergabung sebagai Menteri Pertahanan di kabinet Indonesia Maju, Anies menjadi representasi tunggal bagi kelompok yang beroposisi dengan Jokowi.

Awalnya, kelompok yang berseberangan dengan Jokowi, menempatkan Prabowo yang merupakan rival Jokowi di dua kali Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan Pilpres 2019 sebagai tokoh yang dinilai paling layak menggantikan Jokowi.

Meskipun Jokowi dan Anies pernah bersama-sama dan saling mendukung menuju Pilpres 2014, toh kelompok yang tidak suka dengan sosok Jokowi, menganggap Anies jauh lebih baik dari mantan wali kota Solo itu.

Sehingga dalam satu masa, pernah muncul gerakan yang menyebut Anies gubernur rasa Presiden maupun Anies gubernur Indonesia, untuk menggambarkan dinamika dan perlawanan kelompok terhadap sosok Jokowi.

Kendati Jokowi dan Anies kerap bertemu dalam berbagai kesempatan saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI, toh rivalitas itu terus dihadirkan.

Bagi Nasdem, pilihan untuk mengusung Anies Baswedan sebagai capres pada Pilpres 2024 merupakan sebuah keputusan politik yang mestinya bisa diterima semua pihak. Satu sisi, bagi pendukung Jokowi, langkah Nasdem diibaratkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita bersama.

Pandangan yang muncul di publik itu mempertegas teori yang dikemukakan Wolfgang C. Muller dan Kaare Strom dalam buku berjudul Policy, Office, or Votes?. Bagian dari artikel itu menuliskan, “Political parties play a major role in the recruitment of top politicians, on whom the momentous and painful political decisions often fall."

Dengan kata lain, partai politik memainkan peran utama dalam perekrutan politisi papan atas, yang sering kali menjadi sasaran keputusan politik yang penting dan menyakitkan.

Bagi pendukung Jokowi, langkah Surya Paloh yang memilih Anies tentu menyakitkan karena Nasdem masih ada dalam koalisi besar pemerintahan bersama PDIP, Gerindra, Golkar, PPP, PKB, dan PAN.

Bergeming

Hal yang menarik dicermati sejak peristiwa Oktober 2022 hingga saat ini, Jokowi bergeming dari reaksi publik maupun kelompok yang menginginkan Jokowi segera melakukan perombakan kabinet dan menendang menteri dari Nasdem.

Sejatinya, berkaca dari periode 2014—2019, praktis Presiden Jokowi hanya melakukan dua kali perombakan kabinet dalam skala besar. Dari dua perombakan itu, Jokowi tidak pernah ‘membuang’ anggota kabinet dari unsur partai politik.

Pada perombakan kabinet pertama 12 Agustus 2015, Jokowi mengganti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel, dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.

Dari keenam anggota itu, semuanya tidak berasal dari unsur parpol. Kemudian, mereka diganti oleh Darmin Nasution (Menko Perekonomian), Luhut B. Pandjaitan (Menkopolhukam), Rizal Ramli (Menko Kemaritiman), Pramono Anung (Sekretaris Kabinet), Thomas Lembong (Menteri Perdagangan), dan Sofyan Djalil (Kepala Bappaneas).

Demikian halnya saat perombakan kedua dilakukan pada 27 Juli 2016. Sebanyak 12 menteri dilantik, dan tidak ada unsur menteri dari parpol pendukungnya saat itu yang tergusur. Justru, menteri dari kalangan parpol bertambah dengan representasi Airlangga Hartarto (Golkar), Wiranto (Hanura), dan Asman Abnur (Partai Amanat Nasional atau PAN).

Memasuki masa bakti 2019—2024, strategi serupa diterapkan Jokowi. Saat dua menteri dari unsur partai politik dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Menteri Sosial Juliari P. Batubara (PDIP) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Gerindra), Jokowi memilih untuk tetap mempertahankan komposisi menteri dari parpol dengan memilih Tri Rismaharini sebagai representasi PDIP dan Sandiaga S. Uno dari partai Gerindra.

Demikian halnya ketika Jokowi lebih memilih Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN) untuk masuk ke kabinet mengisi pos Menteri Perdagangan, menggantikan Muhammad Lutfi (nonparpol).

Dari rentetan perombakan kabinet yang pernah dijalankan, rasanya berat bagi Jokowi untuk melepas menteri-menteri dari unsur parpol. Artinya, kalau sekarang muncul banyak desakan mencopot semua menteri dari Nasdem yang saat ini diwakili tiga orang, besar kemungkinan tidak akan dilakukan.

Kalaupun harus ada kompromi, paling realistis yang dilakukan Jokowi yakni mengurangi kursi menteri dari Nasdem menjadi 1—2 menteri saja.

Jokowi tentu sadar bahwa dukungan dari Nasdem masih sangat dibutuhkan. Dukungan sosok Surya Paloh sebagai pemilik media tentu juga sangat diperhitungkan.

Karena dalam politik acapkali yang dibutuhkan bukan semata-mata soal berebut kuasa atau mempertahankan kekuasaan.

Harold D. Laswell mendefinisikan politik siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

Artinya, dalam politik terkadang yang perlu dikedepankan adalah interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif atau berdasarkan wewenang. Politik dapat diterjemahkan sebagai sharing peran dan kewenangan, walaupun itu tidak akan menyenangkan bagi semua kalangan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper