Bisnis.com, SOLO - Pakistan disebut-sebut sebagai negara kedua di Asia yang akan mengalami kebangkrutan, mengikuti Sri Lanka.
Negara ini diambang krisis, setelah listrik dipadamkan dalam skala besar yang berimbas pada jutaan penduduk.
Setidaknya 220 juta warga Pakistan terkena pemadamam listrik pada Senin (23/1/2023). Pemadaman ini pun menjadi yang paling luas sejak 2021.
Akibatnya, aktivitas masyarakat di sebagian kota pun terganggu. Pekerjaan hingga keseharian masyarakat pun ikut padam karena tak ada generator untuk diandalkan.
Adapun krisis yang terjadi di Pakistan ini terjadi akibat lonjakan tegangan yang terjadi. Analis mengatakan situasi ini diakibatkan adanya kekurangan sumber daya untuk menggerakan pembangkit milik seperti minyak dan gas.
Di sektor ini pun memiliki utang yang sangat besar sehingga tidak mampu berinvestasi dalam infrastruktur dan saluran listrik.
Baca Juga
Selain utang yang semakin membesar, Pakistan juga mengalami situasi krisis devisa. Pada awal Januari, Bank Negara Pakistan dilaporkan hanya memiliki devisa sebesar US$ 4,34 miliar (Rp 64 triliun) yang mana ini hanya akan mencukupi kebutuhan impor selama tiga minggu kedepan.
"Penurunan devisa tersebut disebabkan pelunasan pinjaman komersial sebesar US$ 1 miliar kepada dua bank yang berbasis di Uni Emirat Arab," tulis Financial Post.
Di sisi lain, terjadi degradasi nilai mata uang terhadap dollar AS selama empat minggu terakhir. Rupee Pakistan melemah hingga 2,21% terhadap dollar AS.
Krisis ini pun membuat pemerintah negara untuk melakukan beberapa penutupan pusat perbelanjaan dan pasar.
Negara ini pun masih dalam pemulihan setelah diterjang banjir dahsyat pada tahun lalu, yang menyebabkan kerusakan besar hingga USD40 miliar (Rp624 triliun) di negara tersebut.