Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2011 – 2015 yang juga sekaligus Pengamat Kebijakan Publik Chazali H. Situmorang menyampaikan setidaknya terdapat 15 poin krusial dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) yang diusung dengan format omnibus law.
Sebagaimana diketahui, sejumlah asosiasi menandatangani surat terbuka kepada Presiden Jokowi mengenai RUU Kesehatan omnibus law yang merupakan inisiatif Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.
Dalam surat terbuka tersebut, asosiasi menilai RUU Kesehatan omnibus law versi terakhir memuat beberapa hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan juga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, serta hak-hak publik.
“Dalam catatan saya, ada 15 poin krusial yang menyebabkan RUU Kesehatan itu ibarat ghost yang bernama omnibus,” kata Chazali kepada Bisnis, Kamis (22/1/2023).
Pertama, Chazali yang juga merupakan Dosen Kebijakan Publik FISIP Universitas Nasional (UNAS) menilai bahwa dokumen NA dan draf RUU Kesehatan dan DIM yang sudah berada di masyarakat, tidak jelas bersumber dari mana dan tidak ada yang mengakui menerbitkannya (tanpa identitas).
“Kedua, organisasi profesi kesehatan sudah diajak membahas NA dan RUU Kesehatan oleh Kemenkes yang menggabungkan 13 UU bidang Kesehatan eksisting ke dalam satu RUU Kesehatan yang sumbernya tidak jelas,” ujarnya.
Ketiga, Chazali menilai bahwa pejabat Kemenkes terkesan juga kebingungan dengan munculnya NA dan draf RUU Kesehatan tersebut. Keempat, DPR (Badan Legislasi) sudah mengundang beberapa kelompok masyarakat dalam RDP untuk mendapatkan masukan terkait RUU Kesehatan.
Kelima, dalam Raker dengan Menkes dan RDP dengan BKKBN, BPOM, BPJS Kesehatan dan DJSN 22 November 2022, terbuka informasi bahwa draf RUU Kesehatan (Omnibus Law) dimaksud, belum disusun oleh Baleg, dan Raker serta RDP dimaksud adalah forum untuk menghimpun substansi penyusunan RUU Kesehatan.
Adapun poin krusial yang keenam adalah Baleg DPR mengakui, inisiatif pengusulan RUU Kesehatan itu berasal dari DPR, tanpa melalui Komisi IX yang membidangi Kesehatan, BKKBN, BPJS, dan DJSN.
Ketujuh, Chazali menuturkan bahwa tidak semua anggota DPR mengikuti rapat (anggota Baleg) memahami tentang adanya rencana penyusunan RUU Kesehatan oleh Baleg. Hal itu ditandai dengan permintaan agar RUU Kesehatan dibagikan pemerintah kepada DPR (Baleg).
“Kedelapan, simpang siur tentang NA dan RUU Kesehatan menimbulkan spekulasi, apakah RUU Kesehatan itu keinginan Pemerintah tetapi dengan menggunakan tangan DPR [Baleg], tanpa melibatkan Komisi IX DPR, atau murni inisiatif DPR [Baleg] yang disetujui Pemerintah, atau sebenarnya Pemerintah tidak setuju tetapi ‘tidak enak ‘ dengan Baleg DPR,” sambungnya.
Kesembilan, Chazali melihat NA berisikan kumpulan narasi dari berbagai UU Kesehatan dan UU SJSN/BPJS yang ingin dikerangkeng dalam RUU Kesehatan dalam satu bus yang sama berformat omnibus.
Kesepuluh, Chazali mengatakan bahwa beberapa UU Kesehatan yang juga digabungkan adalah produk tahun 2014 ke atas. Kesebelas, dia menilai bahwa dari aspek keselamatan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat, RUU Kesehatan tersebut tidak memiliki arah yang jelas untuk dituju.
Selanjutnya, poin krusial kedua belas adalah tidak konsistennya Baleg DPR dalam menyusun RUU Kesehatan omnibus law.
“Sebaiknya Baleg DPR fokus pada penyelesaian RUU Tentang Kefarmasian dan RUU Tentang Pengawasan Obat dan Makanan mengingat kasus gagal ginjal akut pada anak akibat penggunaan bahan baku obat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan lemahnya sistem pengawasan bahan baku zat tambahan obat,” katanya.
Namun demikian, Chazali menuturkan bahwa Kemenkes sudah bekerja on the track dengan arsitektur 6 pilar transformasi sistem kesehatan yang tertuang dalam RPJM 2022-2024.
“Perlu adanya konfirmasi kepada Presiden Jokowi tentang RUU Kesehatan Omnibus Law. Apakah sudah ada pembicaraan antara Pimpinan DPR dengan Presiden,” tandasnya.