Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alarm Tahun Politik dari WEF untuk Indonesia

Informasi sesat, telah menjadi alat untuk menyebarkan keyakinan ekstremis dan memengaruhi pemilu melalui ruang media sosial.
Polisi mengawal tukang becak yang mengangkut logistik hasil Pemilu 2019 di Jalan Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/4/2019). Setelah dilakukannya penghitungan suara di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), Logistik Pemilu 2019 didistribusikan kembali dari TPS ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk disimpan./ANTARA FOTO-Didik Suhartono
Polisi mengawal tukang becak yang mengangkut logistik hasil Pemilu 2019 di Jalan Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/4/2019). Setelah dilakukannya penghitungan suara di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), Logistik Pemilu 2019 didistribusikan kembali dari TPS ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk disimpan./ANTARA FOTO-Didik Suhartono

Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi nonprofit World Economic Forum (WEF) mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk dalam masyarakat rentan terhadap konflik jelang Pemilu 2024. Misinformasi dan disinformasi bakal menjadi pemicu serius polarisasi bila tidak diperangi sejak tahun ini.

WEF dalam Laporan Risiko Global 2023 menyebutkan bahwa informasi sesat, yang acap kali muncul pada tahun politik, telah menjadi alat untuk menyebarkan keyakinan ekstremis dan memengaruhi pemilu melalui ruang media sosial.

Menurut laporan tersebut, persoalan misinformasi dan disinformasi jelang tahun politik di sejumlah negara dianggap sebagai risiko yang cukup parah oleh responden Global Risks Perception Survey (GRPS). Menduduki peringkat ke-16 dalam risiko jangka pendek.

Pasalnya, dampak yang akan ditimbulkan oleh kekeliruan informasi dapat semakin meluas. Terutama seiring tingginya penggunaan otomatisasi dan pembelajaran mesin, mulai dari bot yang meniru teks tulisan manusia hingga pemalsuan informasi soal para politikus. Ada kemungkinan besar persoalan ini gagal diimbangi oleh tingkat literasi di tengah masyarakat.

“Polarisasi merongrong kepercayaan sosial, dan dalam beberapa kasus, lebih mencerminkan perebutan kekuasaan dalam elite politik daripada perpecahan mendasar dalam ideologi,” tulis laporan WEF, dikutip Minggu (15/1/2023).

WEF juga menilai sering kali polarisasi yang semakin panas pada isu-isu utama dapat menyebabkan kebuntuan bagi pemerintah. Selain itu, pergeseran sejumlah jabatan di tiap siklus pemilu dapat menghalangi penerapan prospek kebijakan jangka panjang.

Hal tersebut dapat menyebabkan perselisihan yang lebih besar, terutama saat menavigasi prospek ekonomi di tengah ketidakpastian pada tahun-tahun mendatang.

“Hal ini dapat menyebabkan peningkatan insiden kampanye ancaman dan kekerasan politik, kejahatan rasial, protes kekerasan, dan bahkan perang saudara,” tulis WEF.

Di sisi lain, polarisasi sosial dan politik juga dapat semakin mengurangi penyelesaian masalah kolektif untuk mengatasi risiko global. Contohnya, sayap politik kanan jauh lebih di pilih di Italia dan terbesar kedua di Swedia, sementara sayap kiri kembali bangkit di Amerika Latin.

Adapun pemilihan nasional akan berlangsung di beberapa negara G20 dalam dua tahun ke depan, termasuk Amerika Serikat, Afrika Selatan, Turki, Argentina, Meksiko, dan Indonesia.

“Pemilihan pemimpin yang kurang sentris dan penerapan kebijakan yang lebih ‘ekstrem’ di negara adidaya ekonomi dapat memecah aliansi, membatasi kolaborasi global, dan mengarah pada dinamika yang lebih tidak stabil,” tulis laporan WEF. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper