Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beda dengan Muhammadiyah, Ketum PBNU Tak Setuju Pemilu Tertutup

Ketua Umum PBNU menilai sistem proporsional tertutup akan mengurangi hak masyarakat dalam memilih wakil rakyatnya di DPR atau DPRD.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya saat menyampaikan sambutan di sela silaturahim PBNU dan PWNU se-Indonesia di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Rabu (16/2/2022) malam. (ANTARA/HO-PP])
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya saat menyampaikan sambutan di sela silaturahim PBNU dan PWNU se-Indonesia di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Rabu (16/2/2022) malam. (ANTARA/HO-PP])

Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya mengaku kurang setuju dengan wacana pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

Dia berpendapat, sistem proporsional tertutup akan mengurangi hak masyarakat dalam memilih wakil rakyatnya di DPR atau DPRD. Meski begitu, Gus Yahya menekankan itu hanya pendapat pribadinya.

"Pendapat pribadi ini ya, sistem proporsional tertutup itu secara teoritis mengurangi hak langsung dari pemilih karena pemilih ndak bisa memilih orang per orang dari calon yang ada," ujar Gus Yahya dalam konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Sedangkan untuk pendapat PBNU secara konstitusi, dia menegaskan belum ada.

Di samping itu, Gus Yahya mengatakan PBNU akan menerima apa saja keputusan terkait sistem pemilu yang akan digunakan. Meski begitu, sistem itu nanti harus menurut kesepakatan bersama pemegang kepentingan.

"Secara umum, ya silakan disepakati di antara para pemain yang terlibat dan terapkan berdasarkan kesepakatan," jelasnya.

Pendapat Muhammadiyah

Sebelumnya, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti berpendapat sistem pemilu proporsional terbuka yang sekarang ini dianut memiliki banyak kekurangan sehingga mengusulkan diganti ke sistem proporsional tertutup.

Dia mengatakan setidaknya ada lima alasan pihaknya ingin sistem pemilu diganti. Pertama, sistem terbuka menciptakan apa yang dia sebut kanibalisme politik.

"Di mana sesama calon itu saling menjegal satu sama lain yang itu berpotensi menimbulkan polarisasi politik," jelas Mu'ti di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023).

Kedua, dia menganggap sistem terbuka membudayakan politik uang di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, timbulnya populisme politik.

"Kadang-kadang pemilih ini menentukkan pilihan bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan popularitas," ujarnya.

Keempat, dengan sistem pemilu tertutup, dia menganggap partai politik (parpol) lebih dapat menyiapkan kadernya yang cocok untuk ditempatkan jadi legislator di DPR atau DPRD.

"Karena peran lembaga legislatif itu secara konstitusional itu sangat besar sehingga kualitas mereka tentun akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ungkap Mu'ti.

Kelima, sistem pemilu tertutup juga diharapkan dapat membuat parpol mendidik kadernya agar mementingkan negara di atas kepentingan parpol, apalagi pribadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper