Bisnis.com, JAKARTA -- DPR dijadwalkan mengesahkan rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) pada hari ini, Selasa (6/12/2022). Pengesahan RKUHP adalah babak baru dalam sejarah hukum Indonesia yang sekian puluh tahun didominasi oleh hukum warisan era kolonial.
Menariknya, di luar kontroversi yang melingkupinya, RKUHP juga memuat sejumlah paradigma hukum yang cukup progresif. Salah satunya terkait dengan mekanisme pemidanaan korporasi.
Seperti diketahui, kendati telah masuk dalam subjek pidana, mekanisme pemidanaan korporasi masih diatur dalam peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.16/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi.
Ketiadaan payung hukum berupa undang-undang kemudian menjadikan proses penegakan hukum dan upaya pemidanaan terhadap korporasi tidak optimal.
Adapun dalam draf RKUHP yang banyak beredar, pemerintah telah secara eksplisit mengatur hal itu. Dalam penjelasannya, tindak pidana korporasi didefinisikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus orang yang berdasarkan hubungan kerja bertindak demi kepentingan korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan.
Beleid RKUHP juga menegaskan bahwa tindak pidana korporasi juga dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi (beneficial owner) yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.
Kendati demikian, lanjut rancangan beleid itu, pidana korporasi hanya berlaku jika sutau kejahatan masuk dalam lingkup usaha atau kegiatan ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi, menguntungkan korporasi secara melawan hukum, diterima sebagai kebijakan koporasi.
Selain itu, pidana korporasi juga berlaku jika perusahaan tidak melakukan langkah pencegahan atau menghindari terjadinya suatu tindak pidana, termasuk membiarkan terjadinya suatu tindak pidana.
Pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dapat dikenakan kepada korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi.
Skema Pemidanaan
Draf RKUHP memaparkan bahwa dalam proses pemidanaan korporasi, penegak hukum setidaknya harus mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tingkat kerugian atau dampak, keterlibatan pengurus atau beneficial ownership, jangka waktu tindak pidana, termasuk frekuensi tindak pidana korporasi.
Penegak hukum juga perlu memperhitungkan bentuk kesalahan tindak pidana, keterlibatan pejabat, nilai hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, rekam jejak korporasi, pengaruh pemidanaan hingga kerja sama korporasi dalam penanganan pidana.
Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pidana korporasi ada dua jenis yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam korporasi adalah denda.
Sementara itu, pidana tambahan bisa berupa pembayaran ganti rugi, perbaikan akibat tindak pidana, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan, pemenuhan kewajiban adat, hingga pembiayaan pelatihan kerja.
Selain itu, dalam RKUHP, negara diberikan kewenangan untuk merampas barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pengumuman putusan pengadilan, pencabutan izin tertentu, pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi, hingga pembubaran korporasi.
Di sisi lain, RKUHP yang rencananya akan disahkan oleh DPR hari ini juga memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pengambil alihan korporasi, menempatkan di bawah pengawasan hingga penempatan korporasi di bawah pengampuan.