Bisnis.com, JAKARTA -- Reformasi struktural masih jalan di tempat. Transformasi ekonomi yang didorong oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) rupanya belum berjalan sesuai ekspektasi.
Malah kalau menilik data belakangan ini, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru terus tergerus. Pada tahun 2015, misalnya, manufaktur masih berada di angka 20,99 persen. Sedangkan pada tahun lalu, kontribusi manufaktur anjlok ke angka 19,25 persen.
Fakta bahwa manufaktur belum bisa berkontribusi banyak terhadap kinerja ekonomi mengindikasikan Indonesia masih mengidap Dutch Disease alias penyakit Belanda. Istilah populer pada dekade 1970-an.
Penyakit Belanda adalah istilah yang banyak digunakan kalangan ekonom untuk menggambarkan imbas pertumbuhan sektor pertambangan atau komoditas ke perekonomian suatu negara.
Istilah ini merujuk pada peristiwa penemuan cadangan gas di Groningen, Belanda. Penemuan cadangan gas tersebut kemudian menimbulkan guncangan terhadap kinerja sektor manufaktur negeri kincir angin.
Di Indonesia, fenomena itu tampak dari data struktur ekonomi beberapa waktu terakhir. Sektor komoditas benar-benar menjadi urat nadi ekonomi. Komoditas ibarat 'Dewi Fortuna' bagi pemerintah yang sedang berupaya bangkit dari pandemi.
Baca Juga
Rapor ekonomi Indonesia kuartal II/2022 mengonfirmasi hal itu. Alih-alih ingin pamer kinerja pemulihan ekonomi. Struktur ekonomi Indonesia selama tahun 2022 justru semakin lemah.
Kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) anjlok. Sebaliknya, sektor pertambangan (komoditas) justru melonjak sangat signifkan.
Data kontribusi PDB kuartal 2/2019 (masa pra pandemi), misalnya, menunjukkan bahwa kontribusi manufaktur sempat tembus di angka 19,52 persen. Kontribusi di kisaran 19 persen ini bertahan meski pada tahun 2020 dan 2021 ekonomi Indonesia dihantam pandemi Covid-19.
Namun pada tahun 2022, baik kuartal 1 maupun kuartal 2, kontribusi sektor manufaktur terus menurun. Bahkan, kalau melihat kinerja sektor manufaktur selama kuartal 2/2022 anjlok hingga di angka 17,84 persen.
Capaian kinerja sektor manufaktur ini terendah selama lima tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada kuartal 2/2017, sektor manufaktur mampu berkontribusi ke PDB sebanyak 20,27 persen.
Setahun kemudian, kontribusi sektor manufaktur mulai turun menjadi 18,8 persen hingga akhirnya tersisa 17,84 pada kuartal 2/2022.
Sebaliknya, sektor komoditas (pertambangan dan penggalian) yang sejak kuartal 2/2017 kontribusinya tidak pernah tembus lebih dari 8 persen, hingga paruh tahun 2022 naik cukup signifikan.
Pada kuartal 1/2022, misalnya, komoditas tambang menyumbang ke PDB sebanyak 10,48 persen. Kuartal 2/2022 angkanya bahkan tembus hingga 13,06 persen. Rekor tertinggi capaian kuartal 2 selama 5 tahun terakhir.
Kinerja moncer sektor komoditas kemudian berimbas kepada tren positif pengelolaan fiskal. Setoran pajak maupun bukan pajak yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA) mengucur deras. Penerimaan pajak Juli mampu tumbuh 58,8 persen. PNBP SDA Migas bahkan tumbuh 93,6 persen. APBN surplus.
Kendati demikian, pemerintah tidak boleh jumawa. Surplus APBN memang memberi ruang bernafas usai dihimpit dan dipaksa irit akibat pandemi Covid-19. Namun, tren penurunan kinerja manufaktur selama kuartal 2 lima tahun terakhir adalah warning.
Bahaya deindustrialisasi jelas mengancam di depan mata. Jika ini terus berlanjut, Indonesia bisa berhadapan dengan bencana struktural yang bisa berimbas jatuhnya kinerja ekonomi ke jurang krisis seperti 1982 lalu.