Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sewindu Jokowi, Rasio Pajak RI Masih Betah di Dasar Jurang

Rasio pajak menjadi catatan yang perlu diperhatikan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah berumur lebih dari sewindu.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan). Biro Pers dan Media Istana
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan). Biro Pers dan Media Istana

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berjalan lebih dari sewindu atau 8 tahun. Selama itu pula, Jokowi telah beberapa kali melakukan reshuffle, salah satunya mengganti menteri keuangan dari Bambang PS Brodjonegoro ke Sri Mulyani Indrawati.

Sri Mulyani pada waktu itu adalah mantan menteri keuangan pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Dia juga berpengalaman di kancah global, karena saat diminta menjadi menteri, Sri Mulyani masih memegang jabatan strategis di Bank Dunia alias World Bank.

Kendati demikian, pergantian menteri tersebut rupanya belum banyak mengubah keadaan, khususnya dalam mengerek kemampuan negara memungut pajak. Rasio pajak Indonesia tercatat masih rendah, bahkan salah satu yang terendah di Asia Pasifik. Rendahnya tax ratio atau rasio pajak menjadi catatan paling hitam yang perlu segera dibenahi oleh pimpinan di otoritas fiskal.

Apalagi menurut Dana Moneter Internasional (IMF), tinggi rendahnya rasio pajak sangat menentukan nasib keberlangsungan pembangunan di suatu negara. Semakin tinggi rasio pajak, ketergantungan terhadap utang semakin rendah. Pembangunan bisa berjalan optimal.

Namun jika rasio pajak rendah, beban utang bakal semakin meningkat. Potensi menjadi negara gagal atau dalam bahasa Presiden Jokowi, menjadi pasien IMF bergabung dengan 66 negara lainnya, bisa jadi bukan isapan jempol semata.

IMF sendiri telah menetapkan standar rasio pajak sebesar 15 persen bagi pelaksanaan  sustainable development. Sayangnya, capaian rasio pajak Indonesia tidak pernah beranjak dari angka 10-11 persen. Itu artinya jika mengacu kepada syarat dari IMF, Indonesia tidak layak untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan.

rasio pajak
rasio pajak
Sumber: Kementerian Keuangan

Memang harus diakui, pemerintah telah beberapa kali berupaya menaikkan kinerja rasio pajak. Namun dalam perjalanannya, kebijakan yang muncul justru sering bertentangan dengan upaya tersebut.

Insentif asal ditebar tanpa diukur efektifitasnya,  baseline Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan, yang terakhir tentu UU Harmonisasi Peraturan Pajak yang justru banyak menguntungkan 'pengusaha' dibandingkan negara.

Di sisi lain, pemerintah juga sering tidak konsisten saat mengukur rasio pajak. Mereka pernah pada suatu waktu mendefinisikan rasio pajak secara dikotomis. Pertama, rasio pajak dalam arti sempit yang dihitung berdasarkan realisasi pajak non migas dengan produk domestik bruto.

Penghitungan dengan basis pajak non migas dilakukan untuk mengukur kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam memungut penerimaan pajak. Pemisahan migas sebagai komponen penghitugan rasio pajak dilakukan karena penerimaan dari sektor migas cenderung less effort.

Kalau menggunakan simulasi ini, tren rasio pajak Indonesia ada di kisaran angka 8 persen bahkann di bawahnya. Kendati tidak ideal, angka ini justru mencerminkan kondisi riil penerimaan pajak dan kinerja Ditjen Pajak saat ini.

Kedua, rasio pajak dalam arti luas yang dihitung berdasarkan sejumlah komponen, bahkan di luar pajak. Pajak dalam arti luas biasanya menggabungkan penerimaan pajak baik migas non migas, kepabeanan dan cukai, hingga PNBP. 

Selain dua istilah di atas, ada juga penghitungan rasio perpajakan. Rasio perpajakan dihitung menggunakan parameter penerimaan perpajakan (pajak plus bea cukai) dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Skema penghitungan rasio perpajakan ini bahkan digunakan sebagai acuan untuk menyusun APBN sampai saat ini.

Bagaimana potret rasio pajak Indonesia dan posisinya dengan negara-negara lain?

Sebenarnya mau menggunakan kategori atau definisi apapun, rasio pajak pemerintah tetap rendah. Namun supaya lebih fair karena pemerintah kerap tidak konsisten dalam mendefinisikan rasio pajak, maka data rasio pajak yang akan ditampilkan di sini diambil dari lembaga Internasional semacam OECD dan World Bank.

OECD seperti diketahui setiap tahun selalu merilis laporan terkait peta rasio pajak di sejumlah negara. Salah satunya yang banyak dirujuk adalah Revenue Statistics in Asia and the Pacific

Dalam edisi tahun 2022, OECD memaparkan bahwa rasio pajak terhadap PDB di Indonesia turun 1,5 poin persentase dari 11,6 persen pada 2019 menjadi 10,1 persen pada 2020. 

Sementara jika dihitung dari 2007 hingga 2020, rasio pajak Indonesia turun 2,1 poin persentase dari 12,2 persen menjadi 10,1 persen. "Rasio pajak terhadap PDB tertinggi terjadi pada periode ini adalah 13 persen pada tahun 2008, dan terendah 10,1 persen pada tahun 2020."

OECD
OECD
Sumber: OECD, 2022

Capaian rasio pajak sebanyak 10,1 persen itu menjadikan Indonesia duduk di peringat 3 terbawah versi OECD. Rasio pajak Indonesia hanya di atas Bhutan, negara terpencil di Himalaya dan Laos negara terkurung daratan yang sampai sekarang masih dikuasai oleh rezim komunisme.

Adapun jika mengacu pada data World Bank, rasio pajak Indonesia lebih rendah lagi. Dikutip dari laman resmi Bank Dunia, rasio pajak Indonesia pada 2020 hanya 8,3 persen. Hasil penghitungan World Bank, ini memiliki kedekatan dengan skema rasio perpajaka versi pemerintah.

Namun jika menghitung berdasarkan penghitungan penerimaan pajak murni dan PDB tahun 2020, rasio pajak Indonesia hanya 6,9 persen. Rendahnya rasio pajak pada tahun 2020 dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah aktivitas ekonomi yang nyaris terhenti karena pandemi.

Sementara itu, pada tahun 2021, ketika pemulihan ekonomi terjadi karena pandemi terkendali, rasio pajak Indonesia mampu beranjak ke angka 7,5 persen. Tren perbaikan daya pungut penerimaan pajak bakal terus berlanjut karena sepanjang tahun ini pemerintah diguyur oleh penerimaan dari sektor komoditas. 

Guyuran Komoditas

Pemerintah boleh dikatakan beruntung karena kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN 2022 masih mendapatkan berkah dari lonjakan permintaan komoditas di pasar global.

Berdasarkan data APBN Kita sampai dengan September 2022, hampir semua jenis penerimaan yang bersumber dari komoditas mengalami kenaikan cukup signifikan.

Penerimaan PPh migas misalnya, realisasinya sampai dengan bulan lalu telah mencapai Rp62,3 triliun atau tumbuh sebanyak 80,5 persen dari September 2022 yang hanya Rp34,5 triliun. 

Selain PPh migas, tren meningkatnya peran komoditas juga tercermin dari pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor pertambangan yang tumbuh di angka 199,8 persen. Kontribusinya ke total penerimaan pajak September mencapai 8,8 persen.

Kendati turun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 9 persen sampai dengan 10 persen, kontribusi sektor pertambangan pada tahun ini tercatat naik signifikan.

Dalam catatan Bisnis, pada waktu harga komoditas normal, kontribusi penerimaan pajak sektor pertambangan tak lebih dari 7 persen.

Kinerja penerimaan sektor pertambangan pada Oktober 2018, misalnya, kontribusinya hanya 6,3 persen. Sementara September 2019 5,1 persen, September 2021 bahkan hanya 4,3 persen.

Adapun dari sisi penerimaan negara bukan pajak atau PNBP, penerimaan dari sektor komoditas juga tercatat naik signifikan. Realisasi PNBP sektor migas mencapai Rp109,7 triliun atau tumbuh 76,8 persen.

Sedangkan PNBP mineral dan batu bara tumbuh lebih dari 100 persen atau realisasinya mencapai Rp63,7 triliun.

Sekadar perbandingan pertumbuhan kedua sektor ditopang oleh kenaikan harga komoditas antara lain rata-rata Indonesia Crude Price  atau ICP yang mencapai US$101,3 atau tumbuh 55,3 persen.

Sementara itu, sektor minerba dipicu oleh kenaikan komoditas tambang batu bara dan nikel masing-masing 160,3 persen dan 49,3 persen

Kinerja moncer sektor komoditas tersebut kemudian mendorong kinerja pendapatan negara yang sampai September 2022 mencapai Rp1.974,7 triliun atau tumbuh 45,7 persen. Dengan kinerja belanja yang cenderung konservatif, rasanya wajar jika APBN surplus hingga Rp60,9 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper