Bisnis.com, JAKARTA—Perusahaan raksasa energi Rusia Gazprom menyatakan telah menandatangani perjanjian dengan China untuk memulai pembayaran pasokan gas ke China.
Kedua negara sepakat menggunakan mata uang yuan dan rubel, bukan dolar AS sebagai tanda peningkatan hubungan antara Beijing dan Moskow yang berada di bawah sanksi Barat.
“Mekanisme pembayaran baru adalah solusi yang saling menguntungkan, tepat waktu, andal, dan praktis,” ujar CEO Gazprom Alexei Miller sebagaimana diktuip Aljazeera.com, Rabu (7/9/2022).
Pernyataan itu disampaikannya dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan konferensi video dengan kepala grup minyak China CNPC, Dai Houliang.
Miller menambahkan bahwa langkah itu akan "menyederhanakan perhitungan" dan "menjadi contoh yang sangat baik bagi perusahaan lain".
Miller juga memberitahu mitranya dari China tentang “status pekerjaan pada proyek untuk pasokan gas melalui ‘rute timur’ atau yang dikenal dengan pipa gas ‘Power of Siberia’” yang menghubungkan jaringan gas Rusia dan China, menurut pernyataan Gazprom.
Akan tetapi Gazprom tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang skema tersebut atau mengatakan kapan pembayaran akan beralih dari dolar ke rubel dan yuan.
Perubahan tersebut merupakan bagian dari dorongan untuk mengurangi ketergantungan Rusia pada dolar AS, euro, dan mata uang lainnya.
Baru-baru ini, Rusia telah berupaya membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan China dan negara-negara non-Barat lainnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin awal tahun ini memaksa pelanggan Eropa untuk membuka rekening bank rubel pada Gazprombank dan membayar dalam mata uang Rusia jika mereka ingin terus menerima gas Rusia. Pasokan diputuskan ke beberapa perusahaan dan negara yang menolak persyaratan kesepakatan sehingga menyebabkan harga energi melonjak.
Kremlin menyatakan bahwa pasokan gas Rusia ke Eropa tidak akan dilanjutkan sampai sanksi Barat terhadap Moskow dicabut. Sementara Rusia menandatangani perpanjangan kesepakatannya untuk memasok gas ke China senilai US$37,5 miliar pada awal invasi.