Bisnis.com, JAKARTA - Proses penyidikan kasus pembunuhan terhadap Brigadir J masih terus berkembang. Saat ini, tersangka kasus Brigadir J yang telah ditetapkan ada empat yakni Bharada RE, Bripka RR, KM, dan Irjen FS.
Di samping itu, sebanyak 56 personel Polri diperiksa terkait pembunuhan Brigadir J, sebanyak 31 orang diduga melanggar kode etik.
Terkait dengan rekayasa yang muncul dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti pola-pola serupa yang sejak dulu dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Menurut YLBHI, pola-pola rekayasa kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi dan pada umumnya pola rekayasa kasus seperti ini dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing).
Meskipun Indonesia telah memiliki UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan, namun UU ini belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan.
Bagi YLBHI, sudah 24 tahun berlakunya UU ini namun peristiwa penyiksaan terus berulang dan belum ada mekanisme pencegahan yang efektif.
Baca Juga
Selama tiga tahun terakhir, LBH-YLBHI di 17 wilayah mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 korban.
Dari kasus-kasus tersebut, terungkap bahwa penyiksaan dilakukan oleh anggota kepolisian pada saat proses BAP, penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan.
Menjadi masalah serius, sebagian besar yang ditangkap merupakan korban salah tangkap, bahkan berujung pada kematian atau pembunuhan di luar proses hukum. Sebagian lainnya diduga menjadi korban penjebakan kasus kepemilikan narkotik.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, seringkali pejabat atasan aparat penegak hukum kerap membenarkan perilaku tersebut dengan berlindung pada kewenangan diskresi untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
YLBHI, kata Isnur, melihat ada arogansi Institusi dan solidaritas angkatan di tubuh Polri, yang seringkali menjadi penghambat transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum di institusi tersebut..
“Serangkaian rekayasa kasus baik itu berujung pada penyiksaan maupun pembunuhan di luar hukum seperti kasus Brigadir J membuktikan bahwa Polri belum sungguh-sungguh melakukan reformasi, termasuk menghilangkan kultur kekerasan internal sekaligus memperlihatkan lemahnya fungsi pengawasan internalnya,” ujar Isnur dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8/2022).
Terlebih lagi, dalam kasus pembunuhan Brigadir J justru Kadiv Propam yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan kode etik Polri malah menjadi aktor intelektualnya.
Selain kasus Brigadir J, YLBHI juga menyoroti kasus Novel Baswedan yang dituduh melakukan pembunuhan pada tahun 2012 setelah dia memimpin penyidikan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo dan Budi Gunawan.
Dalam kasus Novel, Ombudsman berdasarkan rekomendasinya Nomor: Rek-009/ORI/0425.2015/XII/2015 tertanggal 17 Desember 2015, Ombudsman menyatakan bahwa telah terjadi manipulasi dan rekayasa dalam kasus laporan terhadap Novel.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mendesak pengusutan terhadap dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan ketika diketahui ada upaya menghilangkan barang bukti dan pembersihan tempat kejadian perkara.
“Perlu ada proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri. Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh,” kata Erasmus.
Baginya, hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil, sebab aparat tersebut diberi kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan.
“Pemerintah dan DPR perlu merancang adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen terhadap proses penyidikan oleh polisi. Jadi perlu ada satu lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut pidana dan etik oknum kepolisian,” tegasnya.