Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (BAKN DPR) Wahyu Sanjaya mendorong optimalisasi penerimaan negara dari sektor cukai, khususnya dari cukai hasil tembakau.
Menurutnya dengan optimalisasi tersebut penerimaan negara dari cukai dapat mencapai angka sesuai target pemerintah. “Kami berharap seharusnya pendapatan cukai bisa dioptimalkan lagi,” ujarnya seperti dikutip laman resmi DPR, Kamis (7/7/2022).
Dia melanjutkan, langkah utama yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara tersebut, antara lain, melalui kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.
Penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau dinilai menjadi salah satu kebijakan pemerintah untuk menekan angka perokok. Pada tahun ini, penyederhanaan tarif sudah dilakukan dari sepuluh layer menjadi delapan layer.
Menurutnya, kebijakan tersebut diharapkan mendorong pengurangan perbedaan harga rokok di pasaran dan meningkatkan pendapatan negara.
Pemerintah menargetkan penerimaan negara dari cukai rokok pada 2022 sebesar Rp 193,53 triliun. Mayoritas penerimaan negara tersebut berasal dari cukai hasil tembakau. Selama periode Januari-April 2022, pemerintah telah mengumpulkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 76,29 triliun.
Baca Juga
Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan sistem multitier pada struktur tarif cukai hasil tembakau memungkinkan beberapa merek rokok mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan memungkinkan perokok berpindah ke produk yang lebih murah jika ada kenaikan tarif cukai.
“Penerimaan negara menjadi tidak optimum karena beberapa produsen bisa memilih tarif cukai yang lebih rendah,” katanya.
Vid juga menyoroti kesenjangan tarif dan harga jual eceran (HJE) minimum antara satu golongan dengan golongan lainnya yang masih besar.
“Ambil contoh, sigaret kretek mesin (SKM) dengan jumlah produksi tahunan lebih dari 3 miliar batang (SKM 1) dikenakan cukai 64 persen lebih tinggi dibandingkan dengan SKM dengan jumlah produksi kurang dari 3 miliar batang (SKM II). Selain itu HJE dari SKM 1 lebih tinggi 67 persen dibandingkan SKM II. Produsen golongan II bisa menjual rokok dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan rokok di golongan 1,” katanya.
Oleh sebab itu, Vid merekomendasikan agar pemerintah mengurangi kesenjangan tarif cukai dan HJE minimum antargolongan produksi. Menutup jarak tarif cukai antara golongan 1 dan golongan 2 juga akan membantu mengurangi perbedaan harga rokok di pasaran. Hal ini merupakan satu instrumen kebijakan yang penting untuk menurunkan prevalensi merokok dan optimalisasi penerimaan negara.