Bisnis.com, JAKARTA - Pertama kali bertemu 23 tahun silam, janjian wawancara di stasiun Tugu Jogja.
Saya salah orang, mengira pria berkaos putih dan berkacamata adalah beliau. Setelah celingak-celinguk diantara ratusan calon penumpang, saya menemukan sosok buya di pojok dekat peron.
Siang itu, Buya yang baru saja menggantikan Amien Rais sebagai Ketua PP Muhamadiyah, hendak ke Jakarta naik kereta Argolawu. Bersedia diwawancara beberapa saat sebelum kereta berangkat. Tutur katanya runtut, berisi, dan bertenaga untuk memengaruhi lawan bicaranya.
Saya? Dengan segala keberanian mencoba menanyatakan isu mutakhir kala itu, terutama soal ancaman disintegrasi bangsa pasca-runtuhnya kekuasaan Soeharto.
Saya menganggap wawancara itu seperti masterpieces. Sebelumnya saya sempat hujan-hujan nungguin Amien Rais, tapi karena mungkin lagi jadi selebritas, dia ogah-ogahan menjawab saat saya cegat di Kampus UMY.
Buya benar-bener membuat gembira. Saya ceritakan kisah wawancara itu ke almarhum Bapak yang seorang Muhammadiyah di antara kaum Nahdliyin di kampung saya, Blitar. Oya, Bapak penggemar Amien, saya bilang saatnya menggemari Buya, ini beda. Bapak hanya manggut-manggut.
Baca Juga
Selanjutnya, saya mengikuti dan mengagumi pemikiran Buya Syafii, baik dalam tulisan resonansi di Republika maupun serbagai wawancara yang dimuat media.
Saya tahu Buya adalah sosok bapak bangsa yang langka.
Sahabat saya, Rosiana Silalahi bercerita baru saja membicarakan Buya dua hari lalu dengan Surya Paloh. Politisi itu bilang, ‘tinggal Buya yang kita punya.’
Namun hari ini, linimasa mendadak ramai oleh kepergian Buya Syafii Maarif dalam usia 86 tahun.
Saya berduka sedalam-dalamnya. Dalam kesedihan, mari berdoa semoga beliau husnul khotimah.
Aamiin yaa rabbal ’aalamiin.