Vaksin minim dan ketertutupan
Profesor Ilmu Politik dari Pusan National University, Robert E Kelly mengatakan bahwa sekarang, dengan 26 juta orang diyakini tidak divaksinasi, krisis kesehatan pada populasi yang lebih luas akan menjadi bencana di Korea Utara. Apalagi Kim menolak dosis vaksin yang dialokasikan WHO di bawah program COVAX pada tahun 2021, kata profesor dari perguran tinggi terkemuka Korea Selatan itu seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Kamis (19/5/2022).
“Karena itulah pertanyaan penting muncul. Mengapa Korea Utara memutuskan untuk memberi tahu dunia tentang wabah besar ini,?” ujarnya.
Korea Utara memang terkenal karena program rudal nuklirnya dan retorika perangnya. Sebagai catatan, negara itu menembakkan tiga rudal balistik beberapa jam setelah mengumumkan kasus Covid-19 pertama.
Hanya sedikit yang diketahui tentang perawatan kesehatan Korea Utara karena ketertutupan negara itu.
Sedangkan organisasi non-pemerintah dan warga Korea Utara yang telah membelot ke Korea Selatan atau ke negara Barat sering melihat kualitas layanan kesehatan yang buruk di kota-kota kecil. Padahal di wilayah itu sebagian besar warga Korea Utara tinggal.
Peralatan medis modern, fasilitas perawatan intensif dan stok obat hampir tidak ada bagi kebanyakan orang. Persoalannya kediktatoran seringkali mengabaikan pengelolaan kesehatan.
Apalagi anggaran militer yang besar lebih banyak menguras sumber daya. Sedangkan peluang untuk korupsi dan korupsi tersebar luas.
Di sisi lain, indikator harga kebutuhan pokok tidak menentu, sedangkan ekonomi sering dipolitisasi dan tidak efisien, sehingga yang paling menderita adalah rakyat.