Bisnis.com, JAKARTA -- Semaoen lahir pada penghujung abad ke-19, di Mojokerto, suatu daerah tak jauh dari kota pelabuhan Surabaya. Ayahnya seorang pegawai Jawatan Kereta Api. Semaoen muda termasuk beruntung sempat mengenyam pendidikan di tengah keterbatasan bangsa boemiputra.
Dewi Yuliati sejarawan Universitas Diponegoro dalam buku Semaoen, Serikat Buruh dan Pers Boemipoetra Dalam Pergerakan Kemerdekaan 1914-1923 menulis ketertarikan Semaoen dalam dunia pergerakan sejatinya sudah tumbuh sejak belia. Saat berusia 14 tahun, Semaoen telah bergabung dengan Sarekat Islam afdelling Surabaya.
Semaoen juga tercatat sebagai anggota Vereniging Spoor-Traam Personen (VSTP) atau Organisasi Buruh Kereta Ali dan Tram di Surabaya. Konon, bibit pemikiran 'kiri' Semaoen muncul dari aktivitasnya di organisasi sarekat buruh tersebut.
Apalagi, di organisasi itu dia kemudian bertemu dengan Henk Snevliet, salah satu aktivis sosial Demokrat asal Belanda. Snevliet kemudian mengajak Semaoen untuk bergabung Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Snevliet, dalam sejarah resmi pemerintah, sering disebut sebagai pembawa dan penyebar ideologi komunis di Indonesia. Dia berhasil merekrut bangsa boemipoetra, kader-kadernya kelak ikut mendirikan Partai Komunis Indonesia.
Persinggungan antara Semaoen dengan Snevliet menghasilkan dialektika antara Semaoen yang berlatarbelakang Jawa dengan pemikiran modern yang bersumber dari Marxisme.
Baca Juga
Yuliati menyebutkan bahwa melalui Snevliet, Semaoen tak sekadar belajar membaca dan menulis bahasa Belanda, tetapi mulai mengenal pemikiran barat yang berkembang kala itu, yakni Marxisme.
Pada tahun 1916, mengikuti jejak guru ideologisnya, Semaoen hijrah ke Kota Semarang. Di kota yang kelak dikenal sebagai "Kota Merah" itu, dia bekerja sebagai agitator serikat buruh. Ia juga menjadi penulis di sebuah media pergerakan.
Menariknya, meski tercatat sebagai anggota VTSP dan semakin getol belajar pemikiran Marxisme, Semaoen tetaplah anggota Sarekat Islam. Secara politis, posisi itu cukup menguntungkan.
Posisinya sebagai anggota SI memudahkan Semaoen untuk mengembangkan dan menyebarkan gagasannya soal Islam dan Marxisme.
Apalagi saat itu, keanggotaan ganda saat itu masih lazim di tubuh SI, terutama sebelum bergulirnya "gerakan disiplin partai" yang dimotori oleh Haji Agus Salim.
Singkat cerita, gerak-gerik Semaoen mulai mempengaruhi arah ideologi SI Semarang. Persinggungan dengan elite SI lainya tak bisa terhindarkan.
Konon, ia sering berdebat ihwal arah perjuangan organisasi. Situasi itu membuat hubungannya dengan elite SI lainnya panas dingin. Puncaknya terjadi pada tahun 1917. Saat itu Ketua SI Semarang, Moehamad Joesoef menyerahkan posisinya kepada Semaoen.
Setelah menerima mandat tersebut. Semaoen segera merombak jabatan di tubuh SI Semarang. Pengurus SI yang lama diganti orang yang lebih muda. Pers yang berafiliasi dengan SI yakni Sinar Djawa dihidupkan kembali dan diganti namanya menjadi Sinar Hindia. Pemberitaannya pun lebih radikal.
Soe Hok Gie dalam skripsi yang telah dibukukan berjudul Di Bawah Lentera Merah mencatat bahwa peralihan kepengurusan itu sekaligus mengubah arah ideologis maupun basis massa SI Semarang.
"Kini, setelah kelompok Semaoen memegang kendali. Basis utama organisasi ini beralih ke rakyat kecil dan kaum buruh,” tulis Gie.