Bisnis.com, JAKARTA - Setelah bulan ramadan, dan puasa syawal, umat muslim diimbau menjalankan ibadah puasa untuk membayar utang puasa.
Utang puasa biasanya dibayarkan mereka yang saat bulan ramadan terpaksa tidak berpuasa karena berbagai alasan, mulai dari sakit, dan datang bulan untuk perempuan.
Lantas bagaimana cara membayar utang puasa tersebut?
Apakah dilakukan mencicil? Misalnya, hutang puasa 10 hari, bolehkah dicicil pada hari Kamis dan Senin tiap Minggu, ataukah harus berturut-tutut 10 hari selesai seperti pada bulan Ramadan?
Mengutip muhammadiyah.or.id, dalam QS. Al Baqarah ayat 184 disebutkan “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di buku Tanya Jawab Agama jilid II disebutkan bahwa QS. Al Baqarah ayat 184 di atas tidak disebutkan harus betturut-tutut, sebagaimana kewajiban membayar kaffarah puasa dua bulan yang disebutkan “mutatabiat” atau berturut-turut.
Baca Juga
Karena itu menyaur puasa yang ditinggalkan karena sakit atau karena bepergian dapat ditunaikan dengan bilangan puasa yang sama di hari selain Ramadan, tanpa harus berturut-tutut. Artinya, boleh menyaur puasa secara terpisah-pisah.
Sementara itu, mengutip nu.or.id, mereka yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan harus mengganti puasa wajib tersebut di luar bulan Ramadhan. Mereka yang mengqadha puasa Ramadan juga wajib memasang niat puasa qadhanya di malam hari, setidaknya menurut Mazhab Syafi’i.
Adapun berikut ini adalah lafal niat qadha puasa Ramadhan:
Nawaitu shauma ghadin ‘an qadha’I fardhi syahri Ramadhana lillâhi ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”