Bisnis.com, JAKARTA - Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat.
Fidyah ramadan dibayarkan oleh mereka yang tidak bisa berpuasa ramadan dan tidak bisa membayarnya dengan puasa.
Adapun kategori Orang yang Wajib Membayar Fidyah adalah sebagai berikut
1. Orang Tua Renta
Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadla) puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 428).
2. Orang Sakit Parah
Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadlan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum.
Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadlan) maupun qadha’ (di luar Ramadlan).
Baca Juga
3. Perempuan Hamil atau Menyusui
Ibu hamil atau yang tengah menyusui diperbolehkan meninggalkan puasa bila mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya. Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya.
4. Orang Mati
Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.
Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadla puasa.
5. Orang yang Mengakhirkan Qadla Ramadan
Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadlan—padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadla—sampai datang Ramadlan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadla puasa Ramadlan.
Adapun, berikut tata cara niat dalam penunaian fidyah:
? Contoh niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang tua renta:
???????? ???? ???????? ?????? ??????????? ?????????? ?????? ????????? ??????? ????? ????????
Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadlan, fardlu karena Allah.
? Contoh niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:
???????? ???? ???????? ?????? ??????????? ???? ????????? ?????? ????????? ?????????? ????? ???????? ??? ??????? ????? ????????
Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadlan karena khawatir keselamatan anaku, fardlu karena Allah.
? Contoh niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ahli waris):
???????? ???? ???????? ?????? ??????????? ???? ?????? ????????? ??????? ???? ??????? ??????? ????? ????????
Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadlan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayitnya), fardlu karena Allah.
? Contoh niat fidyah karena terlambat mengqadla puasa Ramadlan:
???????? ???? ???????? ?????? ??????????? ???? ?????????? ??????? ?????? ????????? ??????? ????? ????????
Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadlan, fardlu karena Allah.
Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.
Waktu Mengeluarkan Fidyah
Fidyah puasa untuk orang mati diperbolehkan dilakukan kapan saja, tidak ada ketentuan waktu khusus dalam fiqih turats. Sedangkan fidyah puasa bagi orang sakit keras, tua renta dan ibu hamil/menyusui diperbolehkan dikeluarkan setelah subuh untuk setiap hari puasa, boleh juga setelah terbenamnya matahari di malam harinya, bahkan lebih utama di permulaan malam. Boleh juga diakhirkan di hari berikutnya atau bahkan di luar bulan Ramadlan.
Tidak cukup mengeluarkan fidyah sebelum Ramadlan, juga tidak sah sebelum memasuki waktu maghrib untuk setiap hari puasa.
Ringkasnya, waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu tersebut.
Fidyah dengan Uang
Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat mayorits ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Pendapat ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi jenis lain (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).
Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. Menurutnya, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding dengan makanan. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, halaman 7156).
Konsep jenis makanan pokok yang dinominalkan versi Hanafiyyah terbatas pada jenis-jenis makanan yang tercantum secara eksplisit dalam hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr (gandum)/tepungnya, anggur, dan al-sya’ir (jerawut). Hanafiyyah tidak memakai standar makanan pokok sesuai daerah masing-masing. Adapun kadarnya adalah satu sha’ untuk jenis kurma, jerawut, dan anggur (menurut sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah setengah sha’). Sedangkan gandum atau tepungnya adalah setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Ringkasnya, ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan qimah dalam fidyah menurut perspektif Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, halaman 688).
Ukuran satu sha’ menurut Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan Muhammad Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg. Sedangkan menurut hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islami adalah 3,8 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg. Dengan demikian, cara menunaikan fidyah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur atau jerawut, seberat satu sha’ (3,8 kg atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan. Bisa juga memakai nominal gandum atau tepungnya seberat setengah sha’ (1,9 kg atau 1,625 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan.