Bisnis.com, JAKARTA - Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Negara yang terkenal dengan produksi teh tersebut harus mengalami kekurangan pangan dan bahan bakar. Benarkah China berperan dalam krisis yang melanda Srilanka?
Situasi semakin parah dengan naiknya bahan kebutuhan pokok dan terjadinya pemadam listrik berulang. Sri Lanka disebut gagal membayar utang luar negerinya sebesar US$51 miliar atau Rp732 triliun.
Menurut Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, China juga memiliki peran dalam krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka. Negara tersebut belakangan berkepentingan menyukseskan agenda BRI (Belt and Road Initiative) dengan mencari mitra strategis guna mewujudkan agenda BRI melalui fasilitas pinjaman kepada negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Selatan.
Agenda BRI berintikan menyukseskan program China untuk menyukseskan ekspor produk-produk China atau import bahan baku yang dibutuhkan dalam negeri/industri China.
Dia mengatakan Kehadiran China sebagai aktor baru di Asia Selatan menjadikan kawasan itu semakin dinamis. Pengaruhnya, di Pakistan ada perseteruan AS dan China, di Nepal ada persaingan India dan China. Di Sri Lanka pun ada perseteruan antara India dan China.
"Faktor proyek-proyek China/BRI di Sri Lanka menjadi salah satu faktor yang kemudian membangkrutkan ekonomi Srilanka. Bukan faktor terpenting tapi salah satu faktor pendorong kebangkrutan," kata Samirin dalam Kuliah Umum Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina, Sabtu (23/4/2022).
Wijayanto menambahkan Asia Selatan juga merupakan kawasan supplier buruh migran ke seluruh dunia. Terbesar dari India dan Pakistan baru Bangladesh dan Sri Lanka. Banyaknya buruh migran dari Asia Selatan disebabkan oleh terbatasnya sumber dayadari wilayah tersebut yang harus dibagi kepada 1,9 miliar penduduk Asia Selatan.
Karenanya, warga mencari sumber daya baru yang lebih besar dan tersedia di belahan dunia lain terutama negara-negara maju dan timur tengah.
"Banyaknya buruh migran itu juga menjadi transfer devisa penting bagi negara India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka. Yang menarik, ketika terjadi krisis di satu negara Asia Selatan, maka transfer remittance dari buruh migran menjadi membesar. Ada semacam solidaritas dari buruh migran kepada negara-negara bersangkutan ketika mendapat masalah ekonomi," paparnya.
Sementara itu, kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia mengakibatkan transfer devisa yang semula cukup membantu bagi keseimbangan ekonomi bagi negara-negara Asia Selatan menurun. Pasalnya kucuran dana dari luar negeri terhenti.
Kemudian sektor pariwisata, turisme menjadi faktor penerimaan penting di kawasan Asia Selatan. Terutama bagi Sri Lanka yang populasinya 22 juta jiwa dan menerima turis 2,5 juta orang/tahun dalam kondisi normal. Namun sayangnya devisa dari turisme menurun karena pandemi Covid-19.
"Dan ketika akan recovery, mendadak terjadi krisis perang Rusia dan Ukraina. Warga Rusia adalah turis nomor satu di Sri Lanka. Nomor 3 adalah warga Ukraina. Bisa jadi di Rusia banyak muncul orang kaya baru sehingga di manapun di dunia turisme selalu ada warga Rusia," katanya.
Samirin menyimpulkan krisis ekonomi yang terjadi di Srilanka pertama karena demokrasi yang terdegradasi. Ada begitu banyak aktivitas anti demokrasi yang dilakukan para politisi Sri Lanka. Kedua, akibat demokrasi yang terdegradasi, lanjutnya, muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan korup.
"Hasilnya, kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat tapi untuk kelompok, investor politik, dan etnis," katanya.
Karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Srilanka sengsara. Utamanya karena negara itu tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang-utang luar negeri yang dulu dibayar antara lain dengan devisa remittance buruh migran dan investasi, turisme.