Bisnis.com, JAKARTA - Saat perang di Ukraina memasuki fase baru setelah 43 hari digempur Rusia, sejumlah negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) secara bertahap mulai memasok senjata ke Kyiv.
Dengan melakukan itu, negara-negara Barat secara diam-diam telah melintasi ambang batas pertahanan yang ditetapkan oleh para pemimpin mereka di awal krisis.
Sebagai catatan, saat awal krisis, NATO menegaskan tidak akan memasok senjata ke Ukraina, tapi memperkuat pertahanan negara anggotanya di sekeliling negara itu.
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah peningkatan pengiriman senjata ke negara itu akan dapat menghindari pembalasan dari Rusia. Siapa yang bisa menjamin tidak akan terjadi perubahan gelombang di medan perang menjadi tidak terkendali?
Apalagi, setelah Moskow berusaha untuk mengobarkan perang antarmiliter yang lebih konvensional di wilayah yang dikenal dengan Donbas di bagian timur Ukraina.
“Masalahnya adalah seberapa banyak negara Barat bergeser ke persenjataan ofensif dari sekadar defensif,” kata Phil Osborn, mantan kepala intelijen pertahanan Inggris seperti dikutip TheGuardian.com, Rabu (6/4/2022).
Mereka punya alasan karena dalam sebuah perang, mempertahankan dan meningkatkan peralatan militer mutlak diperlukan.
Militer Ukraina menghabiskan enam minggu pertama perang dengan menggempur barisan kendaraan lapis baja Rusia. Dengan memanfaatkan infanteri ringan, pasukan Ukraina menggunakan bazoka anti-tank untuk bertahan.
Dalam perkembangan lain, taktik Rusia yang buruk dan kekuatan Ukraina yang tidak terduga berhasil memaksa penyerang yang membabi buta untuk meninggalkan serangan mereka di Kyiv, Chernihiv, dan Sumy yang berada di wilayah timur laut.
Hanya saja, Ukraina sekarang harus berurusan dengan pasukan Rusia di timur dan selatan yang telah membuat kekuatannya terkuras. Apalagi di wilayah itu memang ada kedekatan emosional dengan Rusia karena persamaan budaya dan bahasa.