Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pungli di Lapas-Rutan, ICJR: Sudah Over Kapasitas, Perlu Langkah Konkret Pemerintah

Praktik pungli Lapas yang kembali terjadi di Lapas Cipinang, Jakarta Timur diakibatkan persoalan over kapasitas lapas dan mudahnya kebijakan penahanan di rutan/lapas.
Narapidana berada di dalam Rumah Tahanan Klas IIB Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (7/5)./Antara-Priyatno
Narapidana berada di dalam Rumah Tahanan Klas IIB Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (7/5)./Antara-Priyatno

Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kembali terkuak. Bukan sekali dua kali saja publik mendengar kabar adanya praktik jual beli kamar, makanan, minuman, jam mandi, dan semacamnya di dalam lapas. 

Beberapa hari lalu yang terkuak soal pungli lapak tidur di Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur. Seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) di lapas itu memberikan pengakuan dirinya dan narapidana lain harus membayar uang kepada petugas untuk dapat kamar selama menjalani masa tahanan.

Mengenai praktik lancung ini, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan praktik ini sudah lama terjadi di hampir semua lapas/rutan di Indonesia dan sudah seringkali dilaporkan ke lembaga negara lainnya. Menurutnya, laporan bersama KuPP (Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan) dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK pada 2018 dan 2019 telah menjabarkan terdapat korupsi sistemik pada penyelenggaraan rutan dan lapas. 

“Praktik lainnya juga ada, mempekerjakan tahanan untuk kepentingan petugas dilaporkan sebagai bentuk korupsi sistemik tersebut. Tidak hanya berkaitan dengan fasilitas dasar, Laporan KuPP juga menemukan transaksi ilegal berkaitan dengan pengurusan hak pembebasan bersyarat,” kata Erasmus dalam keterangannya, Minggu (6/2/2022).

Pantauan ICJR, praktik ini sejalan dengan kondisi buruk dalam lapas dan rutan di Indonesia. Kondisi penuh sesak rutan dan lapas membuat hak dasar misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan. Per 30 Maret 2020 (awal pandemi), jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia mencapai angka 270.721 dengan kapasitas total hanya 131.931 orang. 

“Beban rutan/lapas saat itu mencapai 205%, kemudian dibentuk kebijakan percepatan asimilasi di rumah, angka beban lapas sempat turun pada Agustus 2020 menjadi 175%, namun mulai 2021 kembali merangkak naik, pada Juni 2021 kembali dengan beban 200% dengan jumlah: 271.992, lebih banyak dari sebelum pandemi, hingga saat ini Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223%,” jelasnya. 

Pemerintah, kata Erasmus, dalam kurun waktu 7 tahun ini sebenarnya memiliki banyak momentum untuk berbenah, mulai dari terjadinya pandemi Covid-19 hingga terjadinya kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 orang WBP meninggal dunia. 

ICJR meminta langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan oleh eksekutif yakni Kementerian Hukum dan HAM dengan melibatkan DPR RI. Salah satu langkah yang dianjurkan ICJR dengan merevisi UU Narkotika dan memberikan Amnesti/Grasi Massal bagi pengguna narkotika untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika. 

Langkah itu, dilakukan berbasis penilaian kesehatan, karena jumlah pengguna narkotika saat ini mencapai 103.081 orang. Solusi kedua, kata Erasmus, kebijakan Presiden untuk serukan Polisi dan Jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika/tindak pidana ekspresi misalnya penghinaan. 

Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP

Ketiga, untuk kasus penggunaan narkotika, yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga, maka Presiden dapat menyerukan pada Jaksa untuk menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan, mendayagunakan peran Puskesmas tanpa perlu memindahkan overcrowding Rutan/Lapas ke pusat rehabilitasi.

Keempat, untuk tindak pidana paling banyak lainnya semisal pencurian dan penganiayaan (tidak untuk kekerasan seksual) dilakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restoratif justice), dengan mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang selaras dengan pertanggungjawaban pelaku. 

Pada level perubahan legislasi, ICJR mendorong pemerintah bersama dengan DPR untuk merevisi KUHAP dengan menjamin mekanisme uji dan kontrol serta pembatasan kewenangan penahanan oleh aparat penegak hukum. Penahanan harus diputuskan oleh hakim bukan aparat penegak hukum. Berikutnya, perbanyak alternatif penahanan non lembaga (seperti tahanan kota dan rumah) dan efektifkan penangguhan penahanan. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Wahyu Arifin
Editor : Wahyu Arifin
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper