Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin membacakan nota pembelaan atau pledoi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK terkait dugaan korupsi dana alokasi khusus Lampung Tengah yang menjeratnya. Beberapa kali suaranya tercekat seperti menangis.
Azis mengawali pledoi dengan mengutip hadis dan bersyukur karena diberi kesehatan sampai saat ini. Dia berharap nota pembelaan bisa menjadi fakta yang sebenarnya.
“Baik fakta persidangan dalam surat dakwaan, pemeriksaan saksi, dan diakhiri surat tuntutan dapat berikan putusan yang seadil-adinya,” katanya di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (31/1/2022).
Lalu, Azis menceritakan kembali masa kecilnya. Bagi dia, orangtuanya adalah orang yang berperan dan berkontribusi besar dalam kehidupannya hingga bisa seperti sekarang.
Azis kecil, ceritanya, adalah orang yang diajak dengan mengamalkan nilai agama Islam. Setiap hari dia belajar agama dan menerima pola pendidikan yang disiplin.
“Tapi ayah saya tekankan agar bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya di samping agama, sesuai ajaran agama yang saya anut,” jelasnya.
Baca Juga
Sebagai anak bungsu, Azis mengaku hidup berpindah-pindah mengikuti tugas sang ayah. Ini membuatnya harus berganti sekolah. Selama itu pula, dia sering mengalami perundungan karena tidak bisa berbahasa daerah setempat.
Lalu, pada pledoinya berlanjut terkait kasus yang tengah dia hadapi. Azis tetap kukuh tidak berniat memberikan suap kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
“Saya yakin saudara Robin tidak punya kapasitas dan kemampuan dan bantuan-bantuan yang saya lakukan sebagaimana dituduhkan pada saya saat ini sesuai dakwaan,” ungkapnya
Sebelumnya, Jaksa KPK Lie Putra mengatakan, bahwa Azis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Dia menyuap mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dan pencara bernama Maskur Husain dengan total Rp3,6 miliar.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Azis Syamsuddin selama empat tahun dua bulan serta pidana denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan,” katanya saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (24/1/2022).
Bukan hanya itu, KPK juga memberikan tambahan hukuman kepada Azis. Hak politik politisi Partai Golkar ini juga dicabut selama lima tahun.
“Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” jelas Alvin.
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat Azis dituntut demikian. Adapun, hal yang meringankan adalah Azis belum pernah dituntut sebelumnya. Sedangkan, yang memberatkan adalah perbuatan Azis tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi.
“Perbuatan terdakwa merusak citra dan kepercayaan masyarakat pada DPR. Terdakwa tidak mengakui kesalahannya. Terdakwa berbelit-belit,” ucapnya.
Azis didakwa memberi suap sekitar Rp3,6 miliar ke mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain.
“Terdakwa telah memberi uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp3.099.887.000 dan US$36.000 [Rp520 juta] atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Stepanus Robin Pattuju selaku penyidik KPK dan Maskur Husain,” kata Jaksa KPK Lie Putra saat membaca dakwaan, Senin (6/12/2021).
Suap tersebut agar Robin dan Maskur membantu mengurus kasus yang melibatkan terdakwa dan Aliza Gunado terkait penyelidikan KPK di Lampung Tengah.
Perbuatan Azis merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Azis juga didakwa memberi duit dengan total Rp3,6 miliar tersebut kepada Stepanus dan Maskur sebagai hadiah atau janji atas jabatan atau kedudukan mereka.
“Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,” jelas Lie.