Bisnis.com, JAKARTA - Langkah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengalihkan tugas dan fungsi penelitian Komnas HAM ke dalam BRIN dinilai bentuk kesewenang-wenangan atau abuse of power oleh Serikat Pengajar HAM (Sepaham) Indonesia.
Koodinator Divisi Riset dan Advokasi Sepaham, Joeni Arianto Kurniawan mengatakan tindakan tersebut bisa dimaknai sebagai intervensi pemerintah terhadap lembaga negara di luar pemerintah.
Menurutnya, hal itu sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi berdasarkan konstitusi Indonesia.
“Berdasarkan pengaturan Pasal 1 dan Pasal 2 Perpes BRIN, adalah sangat jelas bahwa kedudukan BRIN lembaga pemerintah yang secara struktural berada di bawah presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif,” ujar Joeni dalam paparannya secara virtual, Selasa (18/1/2022).
“Oleh karena itu, integrasi dan pengalihan tugas, fungsi, dan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 65 Perpres BRIN ini, seharusnya dibaca hanya terbatas pada lembaga-lembaga yang secara struktural juga berada di bawah pemerintah saja,“ sambunya.
Dikatakan, Komnas HAM adalah lembaga negara yang sama sekali bukan bagian atau tidak berada di bawah pemerintah. Akan tetapi, sebuah lembaga negara yang mandiri dan terpisah dari pemerintah yang memiliki kewenangan sendiri sebagaimana diatur oleh UU HAM yakni UU No. 39 Tahun 1999.
Baca Juga
“Fungsi melakukan pengkajian dan penelitian adalah tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh UU HAM yang bersifat inheren atau melekat dan tidak bisa dipisahkan dari eksistensi Komnas HAM, karena fungsi tersebut menjadi bagian dari identitas dan karakteristik serta misi Komnas HAM untuk mencapai tujuannya,” jelas dia.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Joeni, fungsi pengkajian dan penelitian jelas tidak bisa dihilangkan atau diambil alih dari Komnas HAM, terlebih jika hal tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintah, dalam hal ini BRIN.
Selain UU HAM, lanjut Joeni, kedudukan dan kewenangan Komnas HAM secara atributif juga diatur oleh beberapa UU yang lain, yakni UU Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000) dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU No. 40 Tahun 2008).
“Mengingat kedudukan dan kewenangan Komnas HAM yang diberikan secara atributif oleh UU tersebut, maka kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM tidak bisa diubah, diganti dan/atau diambil oleh lembaga lain khususnya jika hal tersebut hanya didasarkan oleh aturan di bawah UU, dalam hal ini perpres. Hal tersebut dikarenakan adanya prinsip hukum “lex superiori derogate legi inferiori” (hukum yang lebih tinggi tidak bisa digantikan oleh hukum yang lebih rendah),” jelasnya.
Lebih lanjut, Sepaham menuturkan, selain diatur oleh rezim hukum positif nasional, kedudukan Komnas HAM juga diatur dan didasarkan oleh instrument hukum internasional.
Di antaranya dikenal sebagai “Prinsip-Prinsip Paris” yang dituangkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 48/134 tanggal 20 Desember 1993 tentang Lembaga Nasional untuk Promosi dan Perlindungan HAM (National Institutions for the Promotion and Protection of Human Rights).
Merujuk pada Prinsip-Prinsip Paris ini, kedudukan lembaga HAM nasional ditegaskan dalam poin tentang “Komposisi serta Jaminan Kemandirian dan Keberagaman” di angka 2, yang mewajibkan bahwa lembaga nasional HAM harus bebas dari intervensi pemerintah dan oleh karenanya lembaga tersebut harus memiliki staf dan kantor sendiri dan tidak boleh menjadi objek kontrol secara finansial oleh Pemerintah.
“Selanjutnya, Prinsip-Prinsip Paris juga menegaskan tentang fungsi penelitian yang melekat pada lembaga nasional HAM, yang diatur pada poin tentang “Kompetensi dan Tanggung Jawab” di angka 3,” pungkasnya.