Bisnis.com, JAKARTA -- Bos Grup Texmaco Marimutu Sinivasan menggugat Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta III, Kementerian Keuangan terkait utang BLBI dan kepemilikan aset di sejumlah daerah.
Sengketa hukum antara Marimutu dan Kemenkeu tersebut terjadi menyusul adanya perbedaan persepsi mengenai kewajiban yang perlu dibayarkan oleh Marimutu.
Versi pemerintah, total kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh Marimutu senilai Rp29,7 triliun. Sementara, versi bos grup Texmaco tersebut pihaknya hanya memiliki kewajiban sebanyak Rp8 triliun.
Artinya ada perbedaan klaim sebanyak kurang lebih Rp21,7 triliun dari kewajiban yang harus dibayarkan Marimutu kepada negara. Meskipun pihak bos Texmaco tersebut menolak klaim pemerintah.
"Ini sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman antara BNI dan BPPN terkait penyelesaian kredit atas nama Texmaco pada tanggal 25 Februari 2000," demikian penjelasan Marimutu dalam siaran resminya awal Desember lalu.
Dalam catatan Bisnis Marimutu sejatinya telah berulangkali berusaha untuk lolos dari kewajibannya sebagai warga negara. Pada tahun 2012 lalu, misalnya, dia tercatat menggugat BNI dan pemerintah (Kemenkeu) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca Juga
Kala itu, Marimutu menggugat pemerintah untuk tidak menyita atau melakukan tindakan hukum apapun terhadap PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Selain itu, dia juga menggungat penentuan jumlah utang miliknya yang menurut Perjanjian Restrukturisasi Induk untuk Texmaco Group No.10/23 Mei 2001 senilai Rp29,3 triliun.
Pada pengadilan tingkat pertama Marimutu memperoleh kemenangan. Marimutu lolos dari utang dan dua perusahannya dinyatakan sah menurut hukum.
Namun di tingkat banding, PT Jakarta mengabulkan BNI sebagai pembanding. Putusan PN Jaksel dibatalkan demi hukum. Nasib sial juga dialami Marimutu di tingkat kasasi, permohonannya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Sementara di tingkat peninjauan kembali permohonan bos Texmaco Group tersebut kembali dikandaskan oleh Mahkamah Agung.
Kini Marimutu sedang mengajukan gugatan serupa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini masih bergulir dan akan kembali disidangkan pada Selasa (18/1/2022) untuk perdamaian.