Bisnis.com, JAKARTA - Kartika Sari Dewi Soekarno, putri Presiden pertama RI, Soekarno dari Ratna Sari Dewi baru-baru ini menulis opini tentang keterlibatan negara Barat dalam upaya penggulingan ayahnya pada 1965 di situs berita Inggris, The Guardian yang dirilis pada 7 November 2021.
Dalam opininya, Kartika Soekarno menyebut ayahnya dan jutaan rakyat Indonesia dihancurkan hidupnya oleh kudeta berdarah pada 1965 yang dia yakini didukung oleh Inggris, Australia dan tentu saja Amerika Serikat.
“Nasib tragis ayah saya dialami oleh jutaan orang Indonesia yang hidupnya dihancurkan oleh kudeta militer berdarah tahun 1965, yang saya yakini didukung oleh pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia,” kata Kartika dalam opini berjudul asli ‘Britain owes an apology to my father and millions of other Indonesians’ tersebut.
“Dari dokumen-dokumen yang baru-baru ini dibuka, kami menemukan bahwa, mulai tahun 1950-an, CIA terus mengawasi Sukarno. Pada tahun 1965, Inggris menghasut pembunuhan massal dengan dalih bahwa orang-orang komunis bertanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal terkemuka Indonesia. Hari ini, masih ada perdebatan tentang siapa yang berada di balik pembunuhan ini. Ayahku tahu komunis tidak membunuh enam jenderalnya; dia juga tahu maksud pemerintah Inggris dan Amerika Serikat untuk melihatnya digulingkan,” lanjut Kartika.
Menurutnya, keterlibatan ketiga negara tersebut dalam pendongkelan Sukarno erat kaitannya dengan motif ekonomi.
"Pemerintah Inggris menginginkan ketidakhadiran ayah saya karena kepentingan bisnisnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutu mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Papua Barat memiliki tambang emas terbesar di dunia," jelasnya.
Diketahui, di Indonesia sendiri dalam penyebutan nama peristiwa Gerakan 30 September 1965 masih mengikuti narasi rezim Soeharto, yakni G30S/PKI.
Selain itu, Kartika Soekarno juga beropini soal nasib banyak warga Indonesia yang tidak mendapatkan hak yang layak sebagai warga negara akibat gerakan 30 September.
"Jadi, ketika Suharto mengambil alih dan memerintahkan pembunuhan semua komunis dan pengikut Sukarno, banyak warga sipil yang bahkan tidak tahu arti ideologi komunis juga ditangkap, disiksa, dibunuh," tuturnya.
"Selama beberapa generasi, anggota keluarga korban juga dianiaya. Mereka ditandai dengan simbol pada kartu identitas mereka yang mencegah mereka mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak dapat bersekolah di sekolah umum dan sulit bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan di sekolah swasta kecuali beberapa sekolah Katolik. Bahkan saudara perempuan saya sendiri, Megawati Sukarno Putri, tidak dapat menyelesaikan studinya di universitas," kata Kartika Soekarno.
Dia juga bercerita mengenai nasib Sukarno dan keluarganya setelah diisolasi oleh penguasa baru waktu itu, Soeharto.
“Saya sekarang berusia 54 tahun dan masih menderita sakit yang mendalam memikirkan tahun-tahun kesepian ayah saya di bawah tahanan rumah, ditolak perawatan medis dan kunjungan keluarga, karena Suharto tidak ingin mengambil risiko dengan memberinya kesempatan untuk berbicara. Suharto telah menguasai media massa dan ayah saya, yang suaranya sering terdengar di radio, dibungkam. Suaranya begitu diredam sehingga dia tidak bisa lagi berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri," ujar Kartika.