Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jubir Luhut: Kewajiban PCR untuk Antisipasi Nataru, Tak Terkait Bisnis PCR

Juru Bicara Luhut memastikan bahwa kebijakan wajib PCR bagi penerbangan, yang kemudia dianulir, tak terkait dengan bisnis PCR PT GSI.
Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat melakukan konferensi pers evaluasi PPKM Darurat Jawa-Bali, Sabtu (17/7/2021)./zoom meeting
Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat melakukan konferensi pers evaluasi PPKM Darurat Jawa-Bali, Sabtu (17/7/2021)./zoom meeting

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memutuskan untuk menganulir kebijakan tes polymerase chain reaction (PCR) untuk penumpang pesawat di Jawa-Bali.

Dengan demikian, calon penumpang pesawat di Jawa-Bali hanya diwajibkan melakukan tes Covid-19 antigen sebagai syarat melakukan penerbangan.

Meskipun sempat menjadi gunjingan publik, keputusan sebelumnya yakni penerapan tes PCR bagi penumpang pesawat di Jawa dan Bali diambil pemerintah sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 pascalibur Natal dan Tahun Baru. Kebijakan itu tak terkait dengan bisnis PCR seperti yang ramai dibicarakan belakangan ini.

“Perlu disadari bahwa kebijakan test PCR untuk pesawat ini memang diberlakukan untuk mengantisipasi Nataru ya. Data dari kami menunjukkan tingkat mobilitas di Bali misalnya sudah sama dengan Nataru tahun lalu, padahal ini masih bulan Oktober,” kata Juru Bicara Menko Luhut, Jodi Mahardi kepada Bisnis, Senin (1/11/2021).

Bahkan, sambungnya, data PeduliLindungi dan NAR menunjukkan, ada 103 orang yang menggunakan pesawat terbang pada periode 19-24 Oktober yang kemudian terdeteksi positif Covid-19 dalam 8 hari setelah mereka terbang.

“Bahkan ada 13 yang kemudian terdeteksi positif satu hari setelah terbang,” imbuhnya.

Menurutnya, hal itu disebabkan tren mobilitas masyarakat sudah naik diatas level prapandemi tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan seperti di tempat-tempat wisata, restoran, dan kafe.

Lebih lanjut, Jodi juga menyampaikan bahwa Indonesia harus harus belajar dari pengalaman negara lain, seperti negara-negara Eropa, Amerika, dan Singapura, yang terlalu cepat melakukan relaksasi aktivitas masyarakat karena merasa tingkat cakupan vaksinasi yang cukup tinggi.

“Sekarang mereka mengalami lonjakan kasus yang signifikan, bahkan secara relatif terhadap populasi, jumlah kasus harian mereka saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan puncak kasus kita pada 15 Juli 2021,” katanya.

Berkaca dari data tersebut, Jodi menyampaikan bahwa pemerintah tidak ingin hal yang sama terjadi di Indonesia.

Menurutnya, saat ini tingkat vaksinasi dosis 2 di Indonesia baru mencapai sekitar 35 persen dan ditambah cakupan vaksinasi bagi lansia yang juga minim, sehingga kewaspadaan terhadap gelombang kasus selanjutnya harus tetap dijaga.

“Dengan tingkat vaksinasi yang relatif masih kecil, kita sudah melakukan banyak relaksasi aktivitas masyarakat karena kita imbangi dengan penerapan 3M yang ketat, testing tracing yang tinggi dan penggunaan PeduliLindungi,” kata Jodi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper