Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan adanya tiga jenis modus dalam tindak pidana korupsi jual beli jabatan.
Hal itu disampaikan Firli melalui acara webinar bertajuk “Jual Beli Jabatan, Kenapa dan Bagaimana Solusinya?” yang diselenggarakan KPK dan ditayangkan melalui kanal YouTube KPK, Kamis (16/9/2021).
Dalam acara tersebut, Firli mengatakan bahwa jual beli jabatan adalah salah satu banyaknya bentuk, jenis, dan rupa tindak pidana korupsi.
Sebagaimana yang tercantum dalam UUD Nomor 31 Tahun 1999 dan Jo. UU 20 Tahun 2001, korupsi memiliki sebanyak 7 cabang. Mereka di antaranya adalah kerugian negara, penggelapan jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, suap-menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan korupsi.
Untuk permasalahan jual beli jabatan, Firli mengatakan terdapat tiga jenis modus, yaitu gratifikasi, suap, dan pemerasan. Bahkan, Firli juga mengungkapkan bahwa ketiga modus tersebut adalah modus yang sering terjadi di penyelenggara negara.
“Yang pertama, yang erat kaitannya dengan jual beli jabatan berupa gratifikasi. Kedua adalah yang erat kaitannya dengan suap. Ketiga adalah yang kaitannya dengan pemerasan,” kata Firli, seperti dikutip, Kamis (16/9/2021).
Baca Juga
Firli menjelaskan bahwa jika seseorang yang melakukan jual beli jabatan, maka masyarakat tidak bisa mengharapkan pelayanan publik berjalan secara optimal.
“Jangankan untuk memberikan pelayanan publik, begitu ingin menduduki jabatan saja para pembantu bupati sudah disibukkan dan menerima beban berupa jual beli jabatan,” tambahnya.
Firli menuturkan, tindak korupsi berupa pemerasan sering terjadi pada para penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan, kesempatan, serta rendahnya integritas. Hal inilah yang memicu terjadinya pemerasan.
“Kalau ada suatu jabatan yang dianggap penyelenggara negara bahwa yang bersangkutan layak atau tidak, maka bisa terjadi pemerasan,” paparnya.
Jika mendengar soal pemerasan, tentu sudah umum di telinga masyarakat. Modus pemerasan bisa terjadi jika seseorang yang tengah menduduki jabatan, namun diminta untuk membayar jabatan tersebut. Sementara jika menolak, maka harus segera meninggalkan jabatan tersebut.
“Dengan kalimat ‘Apakah Anda masih mau bertahan, menduduki jabatan tersebut. Kalau bertahan, maka Anda harus bayar sekian. Kalau tidak, maka harus diganti’,” Firli memberi contoh.
Berbeda lagi dengan tindak pidana suap. Suap terjadi karena adanya kesepakatan dan biasanya dilakukan secara rahasia dan tertutup. Firli menjelaskan, tindak pidana suap tentu harus dipenuhi dan dimaknai dengan adanya pertemuan antara penerima dan pemberi.
“Dalam artian konteks pertemuan, tidak hanya pertemuan fisik tetapi juga pertemuan alam pikiran. Karena tidak akan pernah terjadi suap, apabila tidak bertemunya alam pikiran penerima dan alam pemikiran pemberi,” jelasnya.
Begitu pula dengan gratifikasi yang erat kaitannya dengan jual beli jabatan. Sesungguhnya, kata Firli, gratifikasi terjadi karena pihak pemberi gratifikasi menyadari sepenuhnya dan pemberi juga sadar memberikan sesuatu berupa gratifikasi kepada para penerima.