Bisnis.com, JAKARTA -- Tiga tahun sebelum pemilihan presiden 2014, nama Joko Widodo (Jokowi) tak banyak dikenal. Waktu itu, Jokowi yang kini menjabat sebagai kepala negara selama dua periode masih bertugas sebagai Wali Kota Solo.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di sisi lain, tidak bisa lagi maju dalam kontestasi Pilpres 2014. Pasalnya, konstitusi hasil amandemen pasca reformasi hahya mengamanatkan jabatan presiden dua periode.
Sementara itu, realitas survei pada 2011, selalu menyebut tiga nama yang memiliki elektabilitas paling tinggi. Ketiga nama tersebut adalah Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Wiranto. Nama Jokowi, belum masuk radar survei kepemimpinan nasional.
Polularitas Jokowi mulai menanjak saat sejumlah media mempublikasikan hasil kerjanya menata kota Solo. Jokowi kian populer, saat dia memutuskan untuk menantang Fauzie Bowo dalam kontestasi Pilkada DKI 2012.
Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI. Gaya kepemimpinannya yang populis dan dianggap merakyat, membius masyarakat pada waktu itu. Hasilnya, bermodal survei dan dukungan sejumlah relawan, mantan Wali Kota Solo itu mulai masuk radar calon presiden.
Namun, pencalonan Jokowi sebagi presiden tidak langsung berjalan mulus. Ada perbedaan cara pandang di kalangan elit PDIP. Kubu senior, umumnya masih menghendaki, Megawati Soekarnoputri maju dalam kontestasi politik 2014. Pertarungan para 'botoh' di internal partai banteng itu kemudian melahirkan friksi.
Baca Juga
Beberapa elit PDIP tampak begitu keras menentang rencana pencalonan Jokowi. Semboyan 'ojo pedot oyot' yang merepresentasikan keiginan sejumlah elit untuk tetap mengusung trah Soekarno bergaung cukup kuat. Di sisi lain, popularitas Jokowi terus melejit. Bak, Valentino Rossi, Jokowi menyalip lawan-lawannya di tikungan. Popularitas Megawati keteter.
Antusiasme publik ditambah dengan survei yang selalu menampilkan sosok Jokowi sebagai calon paling unggul, rupanya membuat elit PDIP berubah pikiran. Megawati akhirnya legowo. Dia memilih 'lengser' dari pencapresan, dan menunjuk Jokowi sebagai capres resmi PDIP. Jokowi juga dipasangkan dengan Jusuf Kalla, politisi 'veteran' dari partai beringin, Golkar.
Kontestasi politik 2014, kemudian menghadirkan polarisasi yang cukup kuat. Kubu Jokowi-JK melawan Prabowo Subianto-Hatta, yang waktu itu diusung oleh koalisi gemuk. Hampir mayoritas partai mendukung Prabowo. Tak terkecuali, Golkar yang waktu itu dipimpin oleh konglomerat Aburizal Bakrie.
Jokowi menang. Lima tahun berselang dia maju lagi dalam gelanggang. Lawannya masih sama, Prabowo. Keduanya hanya beda pasangan. Jokowi bersama Ma’ruf Amin sedangkan Prabowo memilih Sandiaga Uno. Hasilnya terpaut jauh. Jokowi-Ma’ruf mendapat suara 55,5 persen dan Prabowo-Sandi 44,5 persen.
Sikap Demokrat
Pilpres 2014 menjadi bencmark bagi Partai Demokrat untuk mendorong calon pemimpin yang bukan berasal dari koalisi partai besar. Ada harapan, salah satu elit politiknya, Agus Harimurti Yudhoyono, anak bungsu dari Susilo Bambang Yudhoyono, memilki nasib mujur seperti Jokowi.
Meski begitu Demokrat tak secara terbuka mendorong 'Putra Mahkota Cikeas' untuk maju ke kontestasi Pilpres. Mereka berdalih, Pilpres 2024 masih jauh, mereka lebih memilih untuk membantu rakyat saat pandemi. Kendati harus diakui, poster dan baliho politik 'SI4P AHY' telah kadung menyebar di penjuru tanah air.
Oleh karena itu, Partai Demokrat memilih momentum pandemi saat ini untuk lebih dekat dengan rakyat. Caranya beragam, paling lazim memberikan kepada bantuan. Itu tok.
“Elektabiltias AHY tinggi, oke. Bagi kami, kami sangat bersyukur tapi jadi cambuk juga buat kami,” Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra.
Namun demikian, upaya menyandingkan nasib Jokowi dan AHY, kalau istilah pepatah bagaikan bumi dan langit. Ini bukan berarti AHY tak bisa menjadi presiden. Perjalanan politik AHY dan Jokowi berbeda cukup jauh.
Jokowi, terlepas dari banyaknya hujatan yang diterima saat ini, adalah salah satu elit yang lahir dari masyarakat. Dia mengawali karirnya bukan sebagai elit partai. Mirip kisah Ken Arok, dari bukan siapa-siapa menjadi raja atau presiden Singosari. Lahir dari rakyat biasa dan secara perlahan berhasil membentuk imej "Pahlawan Wong Cilik'. Jokowi, blusukan, dan akhirnya menjadi presiden.
Sementara AHY, jauh dari kesan wong cilik. Bagaimanapun, kehadiran AHY dalam kancah politik tak bisa dilepaskan oleh peran bapaknya yang pernah menjadi presiden dua periode, sekaligus penguasa Partai Demokrat. AHY berasal dari kalangan elit. Dia lahir dari keluarga elit yang mapan baik dari zaman Orde Baru hingga saat ini.
Kisah AHY sebenarnya mirip dengan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi. Mereka berdua lahir dari kalangan elit. Bedanya Gibran memulai karir politiknya sebagai wali kota. AHY memulai karirnya langsung ke level nasional.
Ketua DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengatakan bahwa bicara pilpres, fakta menunjukkan tidak ada satupun presiden terpilih memiliki elektabilitas tinggi di luar petahan atau kontestan yang pernah ikut sebelumnya. Sejak era reformasi dan pilpres dipilih langsung rakyat, tingkat keterpilihan mereka kecil. Bukan hanya Jokowi, itu berlaku pada SBY saat ikut gelanggang pada 2004.
Oleh karena itu, menurut Golkar survei saat ini biasa saja. Termasuk jika elektabilitas ketua umum mereka, Airlangga Hartarto tidak besar saat ini. “Kami sebagai aparat partai, bagi kami survei bagus tidak membuat kami lengah, survei redah tidak membuat lemah. Kami pejuang politik,” katanya.
Elektabilitas Prabowo Teratas
Pilpres 2024 masih jauh di pelupuk mata, namun beberapa lembaga survei telah mengumumkan hasil penelitiannya terkait tingkat elektabilitas tokoh pada 2024. Dari semua survei, keterpilihan Prabowo Subianto masih besar, bahkan tertinggi.
Survei terbaru dilakukan oleh Arus Survei Indonesia yang melakukan sigi periode 26 Agustus sampai 3 September. Survei dilakukan secara nasional di 34 provinsi dengan metode multistage random sampling. Jumlah responden yakni 1.200 orang dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia Ali Rif’an menerangkan bahwa jika pilpres dilaksanakan saat ini, kabinet Jokowi yang mendapat suara tertinggi adalah Prabowo Subianto (15,7 persen), Sandiaga Uno (10,5 persen), Tri Rismaharini (7,1 persen), Tito Karnavian (6,8 persen), dan Sri Mulyani (6,3 persen).
Sedangkan dari ketua umum partai politik adalah Prabowo Subianto (10,20 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (8,6 persen), Megawati Soekarno Putri (6,3 persen), Zulkifli Hasan (4,7 persen), dan Airlangga Hartarto (2,4 persen).
Apabila semua tokoh potensial disatukan, maka elektabilitas tertinggi ditempati Prabowo dengan angka 17,1 persen.
“Setelah itu Anies Baswedan 14,5 persen, Ganjar Pranowo 10,9 persen, Sandiaga Salahudin Uno 8,5 persen, Ridwan Kamil 8,2 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono 8,1 persen,” paparnya.
Suara Masih Bisa Berubah
Angka tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil Survei & Polling Indonesia (SPIN). Survei SPIN dilakukan pada 7 sampai 21 Agustus dengan 1.670 responden berusia minimal 17 tahun yang tersebar di 34 provinsi.
Sigi menggunakan metode multi-stage random. Tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error kurang lebih 2,4 persen.
Direktur SPIN Igor Dirgantara mengatakan bahwa nama Prabowo lebih unggul dibanding tokoh-tokoh yang sudah mulai bergerilya memperkenalkan diri atau mereka yang diprakirakan bakal maju dalam kontestasi pilpres 2024.
Elektabilitas Prabowo sebesar 21,9 persen. Disusul berturut-turut oleh Anies Baswedan 16,1 persen, Ganjar Pranowo 15,6 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 8,7 persen.
Petinggi partai seperti Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto ada di peringkat ketujuh dan kesebelas.
Tingkat elektabilitas Puan ada di 2,3 persen atau di bawah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno 4,9 persen. Sedangkan Airlangga 1 persen.
Konsistennya elektabilitas Prabowo menurut Igor diduga karena ada peristiwa yang diketahui publik terkait aktivitas-aktivitasnya tersebar luas dan sangat mudah diakses.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra ini berada di posisi puncak dengan perolehan sebesar 21,9 persen.
Publik melihat tindakan dan sikap Prabowo konsisten terhadap isu-isu yang diangkatnya pada saat kampanye sebelum menjadi menteri pertahanan sekarang. Faktor usia dianggap publik bukanlah halangan seseorang untuk ikut berkompetisi di pemilihan umum 2024
“Meskipun demikian, elektabilitas yang diperoleh para kandidat saat survei dilaksanakan masih sangat mungkin berubah karena ada 70 persen publik yang masih membutuhkan informasi-informasi tambahan yang dijadikan sumber rujukan dalam menetapkan pilihannya akan diberikan kepada calon presiden yang berkompetisi,” katanya.