Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

FPCI Gandeng Anak Muda Bersuara Soal Krisis Iklim

Paradigma bahwa isu iklim merupakan isu lingkungan belaka harus diubah. Krisis iklim adalah isu politis, ekonomi, dan sosial
Perubahan iklim/evogreen.co.uk
Perubahan iklim/evogreen.co.uk

Bisnis.com, JAKARTA -- Di tengah momen peringatan Hari Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Foreign Policy Community of Indonesia bersama 21 universitas di Indonesia menghelat rangkaian acara bertema Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim.

Dino Patti Djalal, Chairman Foreign Policy Community of Indonesia, menyoroti pentingnya aksi berani dan keinginan politik untuk meredam laju pemanasan global. Apalagi, Indonesia merupakan negara produsen batu bara yang sangat besar.

"Kita memerlukan bold actions, seperti Korea yang menghentikan pinjaman untuk proyek batu bara," ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa (17/8).

Menurut Dino, insentif untuk peralihan ke sumber energi alternatif juga masih sangat kurang. Di sisi lain, industri batu bara memiliki size yang besar, kuat, dan terkait erat secara politis.

"Mereka [pelaku industri batu bara] sudah aware dengan climate change dan mau menjadi bagian perubahan. Jadi, kita harus merangkul orang-orang di industri batu bara dari sekarang," imbuhnya.

Pada saat yang sama, Dino menyampaikan rekomendasi yang disusun berdasarkan pemaparan dan pendapat dari 30 pakar iklim yang menjadi pembicara dalam rangkaian Muda Bersuara 2021.

Rekomendasi kebijakan disampaikan juga sebagai respons terhadap komitmen iklim Indonesia (NDC) terbaru yang dinilai oleh pakar-pakar belum memadai dan tidak sesuai dengan Perjanjian Paris dan rekomendasi ilmiah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Di sektor energi, rekomendasi kebijakan yang disampaikan IESR, Yayasan Indonesia Cerah, dan Greenpeace SEA mencakup transformasi energi dengan melakukan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara dan mulai menginkorporasikan EBT dalam sistem energi primer sebesar 70% pada 2050 untuk mencapai net zero emission pada 2060.

Sementara itu, WRI Indonesia, Madani Berkelanjutan, dan CIFOR merekomendasikan agar sektor kehutanan mendeklarasikan target zero deforestation kendati komitmen iklim Indonesia sekarang (updated NDC) masih memperbolehkan penebangan hutan alam sebesar 6,8 juta hektare, serta melakukan peralihan ke bahan bakar yang bersih dan terbarukan, ketimbang menjadikan biofuel/biodiesel yang berpotensi membahayakan hutan dan lingkungan.

Selain itu, empat rekomendasi juga di sektor kebijakan domestik dan luar negeri juga dibahas oleh Climate Policy Initiative, Yayasan Indonesia Cerah, dan Indonesia Youth Diplomacy (Y20). Pertama, Indonesia bisa menjadi climate superpower dengan melakukan coal phasing-out secepat mungkin.

Kedua, Indonesia dapat menjadi green economic hub dengan menghentikan proyek terkait batu bara agar tetap menjadi atraktif bagi investor dalam maupun luar negri.

Ketiga, perlunya pengurangan (atau bahkan penghentian) penganggaran subsidi bahan bakar fosil dalam APBN yang sekarang berkisar 8%-9% dan merelokasikan anggaran tersebut untuk program penanganan iklim. Saat ini, climate budget hanya berkisar kurang dari 3%.

Keempat, memulai penghentian deforestasi hingga mencapai nol deforestasi.

"Yang terakhir dan utama, Indonesia memiliki kemampuan untuk menargetkan pengurangan emisi sebesar 50% pada 2030. Paradigma bahwa isu iklim merupakan isu lingkungan belaka harus diubah. Krisis iklim adalah isu politis, ekonomi, dan sosial," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Generasi Emas Indonesia dari 13 Universitas di Indonesia membacakan Pernyataan Sikap (Joint Statement) yang mengukuhkan suara pemuda dalam mendesak target net-zero emissions yang lebih ambisius dari Indonesia, yaitu pada 2050, demi masa depan dan Generasi Emas 2045 Indonesia.

"Target net-zero emission ini merupakan kepentingan nasional kita untuk menyelamatkan Indonesia Emas 2045 dari berbagai bencana yang akan timbul dari suhu bumi yang terus memanas: cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, krisis pangan, kekurangan stok air, kenaikan permukaan laut setinggi satu meter, kegagalan panen, kebakaran hutan."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ana Noviani
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper