Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

61 Pengujian UU Mengendap di MK, 7 Terkait Payung Anggaran Penangkal Virus Corona

Dari 61 perkara yang masih mengendap di MK, 29 obyek undang-undang dan satu objek UUD 1945 yang diujikan di MK.
Ilustrasi - Suasana sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019)./ANTARA-Hafidz Mubarak
Ilustrasi - Suasana sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019)./ANTARA-Hafidz Mubarak

Bisnis.com, JAKARTA - Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, lembaga nirlaba yang berfokus pada mengawal perubahan konstitusi yang dijalankan lembaga peradilan, mencatat Mahkamah Konstitusi masih terus menunda pembacaan putusan 7 perkara terakit UU Keuangan Negara untuk Covid-19.

Pelaksana Tugas Ketua KoDe Inisiatif Violla Reininda menyebutkan pihaknya mencatat saat ini ada 61 kasus perkara yang masih berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Rinciannya, 28 perkara yang didaftarkan pada 2020 dan 33 perkara yang didaftarkan pada 2021.

Dari 61 kasus tersebut, 34 di antaranya terkena imbas penundaan sidang, 20 perkara belum diketahui agenda kelanjutannya, dan tujuh perkara pada tahap menunggu jadwal pembacaan putusan.

"Ketujuh perkara tersebut semuanya merupakan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UndangUndang (UU Keuangan Negara untuk Covid-19)," ujar Violla, seperti dilansir Tempo, Minggu (25/7/2021),

Sedangkan dari 61 perkara yang masih mengendap di MK itu, 29 obyek undang-undang dan satu objek UUD 1945 yang diujikan di MK.

Selain itu, ada enam undang-undang yang pengujiannya paling banyak tertunda yang didominasi oleh 22 perkara dengan registrasi pada 2020, yakni, UU Cipta Kerja dengan13 perkara; UU Keuangan Negara untuk Covid-19 dengan tujuh perkara; UU Mahkamah Konstitusi dengan empat perkara; UU Minerba dengan tiga perkara; UU KPK dengan tiga perkara; dan UU Kepailitan dan PKPU dengan tiga perkara. Di mana, kata Voilla, empat di antaranya merupakan perkara pengujian formil.

"Seluruh perkara di atas merupakan perkara yang sempat menjadi sorotan publik karena undang-undang yang dimaksud mengandung kontroversi dan banyak mendapat kritik keras dari publik," kata dia.

Dia menyebutkan MK saat ini seolah belum mampu untuk menyelesaikan perkara dengan segera dan memberikan kepastian konstitusionalitas undang-undang tersebut kepada publik, kendati kerugian hak konstitusional potensial telah dihadapi oleh para pihak yang beperkara maupun warga negara lainnya.

Voilla menilai, pengujian undang-undang di MK tidak dilandaskan pada extraordinary measures of judicial oversight, terutama terhadap perkara-perkara yang bertautan langsung dengan penanganan krisis akibat pandemi Covid-19. Karena itu, tidak tercipta checks and balances dengan sense of crisis yang bisa mengontrol kekuasaan pembentuk undang-undang dengan segera dan responsif. Hal ini ditunjukkan dengan pengujian UU Keuangan Negara untuk Covid-19 yang tidak kunjung mendapatkan kepastian pembacaan putusan.

Kedua, upaya koreksi proses pembentukan undang-undang yang tecermin dari sejumlah pengujian formil tidak dapat diselesaikan dalam batasan waktu yang telah diformulasikan oleh MK, yaitu 60 hari kerja setelah dicatatkan di BRPK.

"Padahal, argumentasi MK yang memberikan pesan atas perbaikan proses pembentukan undang-undang yang cacat sangatlah penting sebagai bahan evaluasi pembentuk undang-undang. Sebab di sisi lain, pemerintah telah banyak menelurkan aturan turunan sebagai aturan pelaksana undang-undang, misalnya pembentukan aturan turunan UU Keuangan Negara untuk Covid-19 dan UU Cipta Kerja," ucap Voilla.

Voilla pun mengkhawatirkan, fakta demikian membuat MK enggan untuk memberikan putusan yang signifikan terhadap undang-undang yang telah jelas melanggar UUD 1945. Di sisi lain, langkah pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang ataupun aturan pelaksana berjalan cepat.

Sehingga, menurut Voilla, ada potensi penyelesaian perkara ditunda dan berjalan berlarut-larut. Ketika penyelesaian perkara terlalu lama, maka pelanggaran hak konstitusional dan koreksi produk legislasi tersebut berpotensi tidak terpulihkan dan tidak relevan lagi dengan adanya putusan MK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anggara Pernando
Sumber : Tempo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper