Bisnis.com, JAKARTA - Pihak berwenang Myanmar mengenakan tuduhan baru kasus korupsi terhadap pemimpin terguling Aung San Suu Kyi yang menuduhnya menyalahgunakan wewenang dan menerima suap, dan menurut kepala pengacaranya "tidak masuk akal".
Kasus tersebut adalah yang terbaru dari serangkaian kasus yang ditujukan terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, 75, yang penggulingannya dalam kudeta 1 Februari telah menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan.
Aksi protes dan pemogokan berlangsung setiap hari, dan kerusuhan terjadi di daerah-daerah terpencil yang menurut milisi anti-junta telah merenggut nyawa 37 tentara.
Media yang dikendalikan militer, sebagaimana mengutip Komisi Anti-Korupsi, menyatakan kasus baru terhadap Aung San Suu Kyi terkait penyalahgunaan tanah untuk yayasan amal Daw Khin Kyi yang dia pimpin.
Dia dituduh secara ilegal menerima US$600.000 dan 11,4 kg emas.
"Dia dinyatakan bersalah melakukan korupsi menggunakan pangkatnya. Jadi dia didakwa dengan UU Anti Korupsi pasal 55," kata juru bicara junta seperti dikutip ChannelNewsZsia.com, Jumat (11/6/2021).
Baca Juga
Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.
Kepala pengacara Aung San Suu Kyi mengatakan, bahwa sejauh yang dia ketahui, penyelidikan korupsi terus berlanjut tetapi belum ada pembuktian di pengadilan.
Dia menggambarkan tuduhan itu sebagai "tidak masuk akal".
"Dia mungkin memiliki cacat tetapi keserakahan pribadi dan korupsi bukanlah sifatnya. Mereka yang menuduhnya serakah dan korupsi telah melakukan tindakan yang tidak masuk akal," kata Khin Maung Zaw dalam sebuah pesan.
Yayasan Daw Khin Kyi didirikan atas nama mendiang ibunda Aung Suu Kyi untuk membantu mengembangkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan di Myanmar, salah satu negara termiskin di Asia.
Kasus yang dihadapi Aung San Suu Kyi mulai dari melanggar protokol Virus Corona saat berkampanye dan secara ilegal memiliki radio walkie-talkie, hingga melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi.
Para pendukungnya mengatakan kasus-kasus itu bermotif politik.