Bisnis.com, JAKARTA -- Usai ditangkap oleh Densus Antiteror 88, pentolan FPI Munarman langsung diperiksa oleh penyidik polisi di Polda Metro Jaya Jakarta.
Namun demikian, tim Advokasi Ulama dan Aktivis (Taktis) yang mendampingi Munarman mengaku kesulitan akses untuk memberikan bantuan hukum kepada bekas Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) itu.
"Hingga saat ini kami sebagai kuasa hukum mengalami kesulitan untuk bertemu dengan klien kami," kata perwakilan Tim Advokasi, Hariadi Nasution dilansir dari Tempo, Rabu (28/4/2021).
Hariadi mengatakan akses pendampingan hukum ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 54, 55, dan Pasal 56 ayat (1). Munarman, kata dia, mestinya mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum pilihannya sendiri.
"Terlebih ancaman pidana yang dituduhkan terhadap klien kami adalah di atas lima tahun sehingga klien kami wajib mendapatkan bantuan hukum," kata Hariadi.
Hariadi mengatakan proses penegakan hukum mestinya menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum dan HAM. Dia menilai penangkapan Munarman dengan cara diseret paksa dan ditutup mata secara nyata telah menyalahi prinsip hukum dan HAM yang dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, ia menyinggung status Munarman sebagai advokat. Dia merujuk Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan advokat termasuk penegak hukum. Menurut Hariadi, jika dipanggil secara patut, Munarman pasti akan patuh.
"Akan tetapi hingga terjadinya penangkapan terhadap klien kami tidak pernah ada sepucuk surat pun diterima klien kami sebagai panggilan," kata Hariadi.
Menilai banyak kesalahan prosedur penegakan hukum dalam penangkapan Munarman, Hariadi mengatakan Tim Advokasi akan melakukan perlawanan hukum sesuai sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia.