Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas menilai larangan menggunakan burkak (burqa) bagi wanita muslim di Sri Lanka akan menggemakan Islamophobia.
Menurutnya, penutupan sekolah Islam dan pelarangan burkak bertentangan dengan hak asasi manusia dan menyakiti hati umat Islam. Dia menilai pemberantasan terorisme perlu mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Kalau seandainya pemerintah Sri Lanka terlalu dihantui oleh tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme, maka langkah yang harus ditempuh dan diambil bukanlah dengan menutup sekolah-sekolah Islam, tetapi dengan meningkatkan kemampuan aparat intelijennya,” katanya seperti dikutip dari laman resminya.
Lebih lanjut, Anwar juga meminta agar Pemerintah Indonesia segera melakukan upaya agar Pemerintah Sri Lanka menempuh cara lain di luar kebijakan yang bersifat Islamophobia.
“Sehingga hal-hal yang bersifat Islamophobia dan tidak proporsional serta tidak etis ini tidak harus terjadi,” tutupnya.
Burkak merupakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh serta wajah. Adapun bagian mata ditutup oleh kawat kasa agar dapat melihat. Biasanya dikenakan oleh sebagian perempuan muslim di Afganistan, Pakistan, dan India Utara.
Baca Juga
Seperti diberitakan Al Jazeera, pada Sabtu, Menteri Keamanan Publik Sri Lanka Sarath Weerasekera telah menandatangani dokumen berupa izin dari kabinet untuk melarang burkak.
“Burkak berdampak langsung kepada keamanan langsung. Itu adalah tanda ekstremisme yang muncul sekarang. Kami pasti akan melarangnya,” kata Weerasekara dalam upacara di kuil Buddha.
Pemerintah Sri Lanka juga berencana menutup lebih dari 1.000 sekolah Islam yang menentang kebijakan nasional.
Rakyat Sri Lanka tidak setuju terhadap rencana tersebut dan memandang keputusan itu sebagai upaya untuk menenangkan mayoritas Buddha di Sri Lanka. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan.
Seperti diketahui, 75 persen dari total populasi Sri Lanka sebesar 22 juta adalah penganut Buddha Sinhala. Sementara itu, minoritas etnis tamil yang kebanyakan beragama Hindu sebesar 15 persen dan muslim sebesar 9 persen.
Pengumuman tersebut hanya beberapa pekan menjelang peringatan kedua serangan Paskah 2019 di tiga gereja dan tiga hotel mewah di negara itu yang menewaskan sedikitnya 269 orang.
Dua kelompok muslim lokal yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam atau ISIL (ISIS) disebut bertanggung jawab atas kejadian tersebut.