Bisnis.com, JAKARTA -- Dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, akan dilantik sebagai Wali Kota pada akhir bulan ini.
Sebaliknya, Presiden ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sedang mati-matian mempertahankan posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) supaya tidak tergusur dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat.
Nasib perjalanan politik dua anak tokoh politik tersebut memang agak berbeda. Dari sisi Jokowi, Gibran bisa dikatakan paling mujur. Selama pelaksanaan kontestasi pemilihan wali kota Solo, putra sulung Presiden Joko Widodo itu tak punya lawan tanding yang sepadan. Alhasil dia menang lebih dari 80 persen.
Sementara Bobby Nasution, meski perjalanan Bobby tidak semulus Gibran dan harus melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi. Bobby tetap bisa bernafas lega, setelah dinyatakan sah sebagai Wali Kota Medan terpilih dan segera dilantik.
"Alhamdulillah, saya bersama Bang Aulia Rahman telah ditetapkan sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih. Tentunya, kami berdua mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara pemilu, dan seluruh masyarakat Kota Medan,” ucap Bobby usai rapat pleno terbuka di Medan, Kamis (18/2/2021).
Keberhasilan Gibran dan Bobby dalam Pilkada 2020 itu tentu memiliki kesan tersendiri bagi dinamika politik Indonesia. Seperti diketahui, sejak wacana keduanya maju di Pilkada 2020, ada kesan aji mumpung dan yang paling ramai dibicarakan adalah soal dinasti politik.
Baca Juga
Dinasti politik di sini, tentu ada kaitannya dengan posisi Joko Widodo sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Orang yang cukup berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia kontemporer.
Bisa dibilang, kemenangan anak dan mantu presiden itu semakin mengokohkan taji trah Joko Widodo. Dan, tentunya ini merupakan investasi yang cukup penting bagi perjalanan trah Jokowi dalam kancah politik ke depan.
Presiden Jokowi, meski saat ini sedang berkuasa, bagaimanapun butuh kendaraan supaya tetap eksis. Apalagi dia bukan pemimpin partai seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Djojohadikusumo atau Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemenangan Gibran dan Bobby dalam Pilkada 2020 tersebut adalah sebuah regenerasi dan strategi politik yang cukup ciamik. Tentunya, ini berlaku bagi ambisi politik presiden Jokowi. Sebab, paling tidak, kalaupun dia sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden, kiprah politik trah Jokowi masih bisa didengar 5 tahun atau 10 tahun lagi.
Kudeta AHY
Beda dengan Jokowi yang tengah bersiap menyambut anak dan menantunya dilantik sebagai Wali Kota. Presiden ke 6 SBY sedang mewaspadai gerakan yang diinisiasi sejumlah kader senior untuk mendongkel posisi AHY dari Ketua Umum Partai Demokrat.
AHY seperti diberitakan sebelumnya tengah menghadapi gerakan kudeta yang belakangan dia sebut sebagai Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan Partai Demokrat atau disingkat GPKPD. Gerakan ini ditengarai diinisasi oleh kader senior partai berlambang bintang mercy itu.
Gerakan itu, meski kalkulasi kekuatannya belum tampak serius, direspons begitu heboh oleh SBY, AHY dan pendukungnya. Perang cuitan di medsos serta aksi berbalas pantun di media massa terus terjadi. SBY bahkan sempat mengingatkan, secara tersirat, supaya lawan politiknya menjalankan kontestasi secara fair.
Di sisi lain, AHY bahkan langsung mengarahkan moncong ke arah istana. Dia menyebut ada orang istana terlibat. Tuduhan kemudian diarahkan kepada Moeldoko. Pensiunan jenderal dan mantan Panglima TNI di era ayahnya memimpin.
Tetapi belum surut isu kudeta, AHY kembali digoyang dengan isu penyelenggaraan kongres luar biasa alias KLB Demokrat. KLB adalah salah satu jalan bagi para kader Demokrat yang tak sejalan dengan SBY untuk merebut kepemimpinan dari tangan AHY.
"Demokrat itu seharusnya menjadi partai kader, bukan keluarga," demikian kurang lebih pernyataan kader Demokrat Marzuki Alie dalam sebuah kesempatan.
Sebenarnya wajar SBY, AHY dan para pendukungnya yang memegang kekuasaan Partai Demokrat saat ini begitu berang dengan aksi-aksi para kader senior Demokrat. Sebab, harus diakui, pasca menanggalkan statusnya sebagai presiden, Partai Demokrat adalah kendaraan politik satu-satunya bagi keluarga SBY.
Kondisi ini makin pelik, karena dalam dua kali uji coba politik, misalnya sewaktu AHY maju di Pilkada DKI 2017 dan proses politik Pemilu 2019, nama AHY belum begitu menjual dan belum mampu mesin suara yang efektif. Malah, partai Demokrat yang sempat memimpin 10 tahun, suaranya tergerus cukup parah. Dari partai dominan ke partai tengah-tengah.
Dengan realitas politik mutakhir yang kurang begitu menggembirakan, tak ada pilihan lain bagi SBY, posisi AHY harus dipertahankan mati-matian di kursi pimpinan Partai Demokrat.
Sebab, kalau gerakan kader senior itu berhasil, dan posisi AHY atau keluarga SBY lainnya terpental. Tentu itu menjadi malapetaka bagi klan SBY. Mereka bisa tersisih dan dilupakan dari kancah politik nasional.
Sebaliknya, jika AHY berhasil mempertahankan posisinya bahkan bisa membalikkan keadaan, membuktikan klan SBY masih bertaji menahkodai Demokrat, tentu dari sisi kapabilitas AHY dalam mengelola partai akan semakin diperhitungkan.
Dia akan menjelma sebagai sosok politisi yang matang dan penuh perhitungan. Dan bisa jadi, AHY akan menjadi penantang utama klan Jokowi atau tokoh-tokoh dari klan arus utama politik Indonesia dalam kontestasi politik ke depan. Itu kalau berhasil.. sekian.