Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan pendanaan kampanye yang dinilai hanya sebagai ‘gimmick’ menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kartel pada Pemilu 2024.
Hal ini disampaikan oleh Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) A. Khoirul Umam dalam Membaca Pola Pendanaan Politik Pilpres: Antisipasi 2024 yang diselenggarakan PPPI, Selasa (9/2/2021).
Dia menilai adanya ketidakjelasan terhadap mekanisme sanksi, mekanisme laporan, proses audit pada Pemilu 2019.
“Oleh karena itu, menyelenggarakan Pilkada serentak pada November 2024 setelah Pilpres dan Pileg justru akan membuka ruang kartel pada tahun 2024, terutama di Pemilu dan Pilpres, ini akan semakin liar,” katanya.
Menurutnya, meletakkan Pilpres dan Pileg secara bersamaan sama saja mengorbankan transparansi, akuntabilitas, dan proses politik.
“Hal ini karena yang jadi fokus aktor politik dan penyelenggara pemilu adalah dinamika pengambilan suara, tetapi pada akuntabilitas dan transparansi pendanaan politik tidak jadi prioritas,” lanjutnya.
Baca Juga
Hal ini terlihat, misalnya, dari jadwal politik yang tidak sinkron sehingga membuat proses audit dana kampanye menjadi sia-sia.
Audit laporan dana kampanye berlangsung pada Mei 2020. Sementara itu, jadwal kampanye telah berakhir pada 17 April.
Selain itu, dana jumbo yang disumbangkan oleh pendonor besar tidak dapat ditelusuri karena identitasnya yang sengaja disamarkan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti PPPI Abdul Rahman Ma'mun pada Pemilu 2019, dia menemukan bahwa dana kampanye untuk Pilpres terfokus pada satu pasangan calon saja, yakni Joko Widodo - Ma’ruf Amin.
Dia juga menemukan ada kepentingan penyumbang besar (big donors) terhadap kandidat yang menang pascapilpres.
Berdasarkan hasil penelusuran data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan wawancara, dia menemukan pasangan Jokowi - Ma’ruf mendapatkan dana senilai Rp617,13 miliar, yang didominasi dari kelompok (41 persen) dana badan usaha (39 persen).
Sementara itu, dana dari parpol hanya 13 persen dan kantong pribadi kedua calon 3 persen.
Berbeda sekali dengan paslon Prabowo Subianto - Sandiaga Uno yang mendapatkan pendanaan senilai Rp251,19 miliar yang 98 persen berasal dari kantong pribadi.
“Politik pendanaan kampanye Pilpres 2019 ini dalam kondisi regulasi yang problematik tadi memberi konsekuensi pada dominasi sumbangan dana kampanye dari kelompok perorangan, pengusaha, dan perusahaan yang sangat dominan dan bahkan hanya menyumbang pada satu pasangan calon saja,” ujarnya.
Dalam penelitian tersebut juga terlihat beberapa nama pengusaha besar yang dianggap mendapat imbal jasa dari dana kampanye Jokowi - Ma’ruf.
Di antaranya adalah Sakti Wahyu Trenggono yang kini menduduki jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia yang menyumbang atas nama Perkumpulan Golfer Perusahan TBIG dan TRG senilai Rp38,23 miliar.
Nama perkumpulan tersebut terafiliasi dengan salah satu nama perusahaan publik di bidang infrastruktur menara telekomunikasi, yakni PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Sakti sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan pada 2019.
Selain itu, Hary Tanoesoedibjo tercatat memberi sumbangan total Rp31,39 miliar atas nama perorangan, PT HT Investama, dan Partai Perindo. Saat ini, putrinya Angela Tanoesoedibjo menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.