Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian formil dan materill Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker.
Uji materi dengan nomor No.105/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PPFSP TSK-SPSI) bersama dengan 12 pemohon perseorangan yang berprofesi sebagai karyawan swasta dari berbagai pabrik tekstil di Jawa Barat.
Hakim Konstitusi Manahan mencermati kedudukan hukum para pemohon yang perlu ketegasan antara uji formil dan materil yang harus dipisahkan penjabarannya.
Kendati memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai Pemohon, namun Manahan meminta agar perlu dijelaskan lagi kedudukan hukum masing-masing Pemohon sesuai dengan statusnya sebagai federasi dan perseorangan warga negara.
Hakim Konstitusi Manahan P. Sitompoel mencermati dalam alasan permohonan seharusnya terdapat bagian yang menunjukkan dasar pengujian dari permohonan tersebut.
Sebab, menurutnya, di dalam uraian tersebut, akan terlihat hak konstitusional para pemohon yang terlanggar oleh adanya norma yang diujikan tersebut.
“Di dalam bagian ini menjadi terlihat nantinya pertengannya dengan UUD 1945,” sebut Manahan yang dikutip dari laman resmi MK, Kamis (17/12/2020).
Sementara itu, Roy Jinto Ferianto, salah satu pemohon mengatakan bahwa sehubungan dengan pengujian formil, pemohon mendalilkan tidak dilibatkan dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pengesahan UU Cipta Kerja. Pemohon menilai penyusunan UU Cipta Kerja hanya melibatkan organisasi pengusaha saja.
Para pemohon juga melihat bahwa draf rancangan UU Cipta Kerja dalam pembahasannya di Badan Legislasi alias Baleg DPR tidak pernah melibatkan para pemohon secara resmi.
Kemudian pada 25 September 2020, Pemerintah telah mengajukan perubahan draf rancangan undang-undang ini, di antaranya Bab IV Ketenagakerjaan pada Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83.
“Dalam hal ini, para Pemohon juga mencermati sebagian pasal pada Bab IV Ketenagakerjaan ini tidak memiliki legal reasoning atau tidak pernah dibahas dalam naskah akademik,” jelas Roy Jinto yang dikutip Bisnis dari laman remi MK, Kamis (17/12/2020).
Adapun dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto selaku Ketua Panel dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra, para pemohon mendalilkan beberapa yang pasal dinilai bertentangan dengan UUD 1945, di antaranya Pasal 13 angka 1, Pasal 14 angka 2, Pasal 37 angka 3, hingga Pasal 156 ayat (4) angka 44 UU Cipta Kerja.
Selain itu, berkaitan dengan pengujian materiil atas perkara UU Cipta Kerja, para Pemohon berfokus pada Bab IV Ketenagakerjaan bagian kedua yang dinilai mengandung banyak kesalahan yang menabrak asas fundamental dan norma konstitusional.
Di samping itu, bab tersebut juga dinilai tidak substantif menjawab persoalan ketenagakerjaan dan bahkan tidak berorientasi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja atau buruh.
Sebagai contoh, dalam permohonan para Pemohon mennguraikan bahwa ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Cipta Kerja memuat ketidakjelasan mengenai pelatihan kerja perusahaan.
"Di dalamnya tidak menjelaskan secara jelas kewenangan pihak yang mendapatkan pelatihan dari lembaga pelatihan kerja perusahaan," jelasnya.