Bisnis.com, JAKARTA - Cathay Pacific Airways Ltd. kemarin mengumumkan bahwa perusahaan telah merumahkan hampir 6.000 orang dan menghilangkan 2.600 posisi. Gabungan jumlah itu sekitar 24 persen dari total tenaga kerja.
Perusahaan itu juga menutup maskapai regional Cathay Dragon dan mencabut kontrak untuk pilot dan awak kabin. Tujuannya adalah untuk mengurangi pengeluaran sebesar US$500 juta sebulan.
Hal yang hampir serupa juga dialami Singapore Airlines Ltd., maskapai berbendera Singapura yang memiliki kesamaan dengan Cathay, yakni sama-sama berbasis di pusat keuangan dan tidak memiliki pasar domestik. Namun, analis mengatakan Cathay kemungkinan berada di posisi yang lebih sulit.
"Di masa-masa sulit ini, kami harus fokus pada satu merek perjalanan premium terkemuka dunia, Cathay Pacific dilengkapi dengan satu merek perjalanan wisata berbiaya rendah, HK Express," kata Pimpinan Cathay Patrick Healy, dilansir Bloomberg, Kamis (22/10/2020).
Pemangkasan tenaga kerja di Cathay menyusul pernyataan Singapore Airlines bulan lalu bahwa maskapai itu mengurangi 20 persen tenaga kerjanya atau sekitar 4.300 posisi, tidak lama setelah mengumpulkan US$ 8 miliar dari penerbitan saham dan pinjaman.
Cathay juga mengumpulkan miliaran dolar dalam restrukturisasi pada Juni yang antara lain menjadikan Pemerintah Hong Kong sebagai pemegang saham dan memiliki dua kursi pada dewan pimpinannya.
Baca Juga
Investor menyambut baik pengumuman Cathay kemarin, saham perusahaan naik sebanyak 6,6 persen di Hong Kong.
"Yang terburuk bisa berakhir untuk Cathay dengan restrukturisasi ini," Analis UOB Kay Hian Pte di Singapura kata K. Ajith.
Namun prospeknya tetap menantang, dengan peringatan bahwa Cathay akan beroperasi di bawah 50 persen dari kapasitas penumpang sebelum pandemi pada tahun depan. Itu skenario yang paling optimistis.
Ajith mengatakan Singapore Airlines berada dalam posisi yang lebih baik karena biaya stafnya sekitar 20 persen lebih rendah daripada Cathay.
"Kami memperkirakan pendapatan Singapore Airlines akan menunjukkan peningkatan pada kuartal kedua tahun fiskal, sedangkan untuk Cathay akan ada di paruh pertama. Peningkatan pendapatan Cathay ini akan didorong oleh bisnis kargo," katanya.
Jumlah penumpang telah menyusut secara mengkhawatirkan di Cathay dan Singapore Airlines. Kedua maskapai memiliki kerentanan karena tidak memiliki pasar domestik untuk membantu mengisi sebagian dari kekosongan yang ditinggalkan oleh kurangnya perjalanan internasional karena penutupan perbatasan.
"Masa depan masih sangat tidak pasti. Krisis ini lebih dalam, dan jalan menuju pemulihan lebih lambat dan lebih tambal sulam daripada yang diperkirakan orang beberapa bulan lalu," kata Healy.
Ketika Singapore Airlines mengumumkan PHK pada September, termasuk di unit SilkAir dan Scoot, Chief Executive Officer Goh Choon Phong mengatakan tidak jelas maskapai mana yang akan bertahan secara global.
Maskapai itu awalnya berhasil menahan kehilangan pekerjaan berkat bantuan dari program dukungan pekerjaan pemerintah. Seperti juga Cathay, Singapore Airlines mendominasi industri penerbangan di pasar dalam negeri, dengan mengatakan mendukung lebih dari 12 persen produk domestik bruto dan 375.000 pekerjaan.
Di luar kesamaan itu terdapat perbedaan yang mencolok, Cathay harus menyeimbangkan hubungannya dengan Beijing. Maskapai penerbangan itu dikritik oleh China tahun lalu setelah stafnya mengambil bagian dalam demonstrasi anti-pemerintah dan kemudian menghadapi reaksi balik karena menyetujui tuntutan China.
Lebih luas lagi, kerusuhan di Hong Kong membuat Cathay terjebak dengan penurunan pendapatan sebelum pandemi karena orang menahan diri untuk tidak bepergian ke kota itu. Cathay mengeluarkan peringatan laba menjelang akhir 2019 dan mengatakan prospek jangka pendek menantang dan tidak pasti.
"Hong Kong sendiri tampaknya kehilangan kepentingan dan relevansinya dalam skema yang lebih besar bagi China, dan ketidakpuasan di sana juga merusak reputasinya yang telah lama dipegang sebagai tempat yang baik dan stabil untuk berbisnis," kata Sanjiv Kapoor, mantan kepala strategi dan operasi komersial di Vistara, afiliasi Singapore Airlines di India.
Munculnya maskapai penerbangan China juga memperumit posisi Cathay karena mereka mampu terlibat dalam perang harga dan dapat mengurangi relevansi Hong Kong sebagai pusat penerbangan langsung dari daratan ke AS dan Eropa.
Shukor Yusof, Pendiri Konsultan Penerbangan Endau Analytics di Malaysia, mengatakan sementara pemerintah Singapura menjamin bahwa maskapainya tidak akan runtuh, Cathay harus menghadapi tantangan geopolitik ekstra karena China mendikte aturan di darat, laut, dan udara.