Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pihak mulai dari pengamat hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengapresiasi hasil keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada para terdakwa kasus Jiwasraya.
Pasalnya, selama ini jarang sekali terjadi putusan hakim dengan hukuman maksimal yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Pengamat yang juga Pakar hukum tindak pidana korupsi dan pencucian uang Universitas Pakuan, Yenti Garnasih menilai vonis hakim pada kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) termasuk spektakuler dan layak mendapat apresiasi.
Namun demikian, tegas dia, putusan terhadap empat terdakwa tersebut tetap perlu dikawal terus oleh publik dan masyarakat, lantaran para terdakwa masih bisa melakukan upaya hukum lain.
“Putusan ini sangat bombastis dan sangat spektakuler. Jarang terjadi putusan maksimal dijatuhkan pada tindak pidana korupsi. Namun ingat putusan ini belum inkracht (berkekuatan hukum tetap). Publik masih harus mengawal kasus ini,” kata Yenti, Selasa (13/10).
Menurutnya, Kejaksaan Agung selaku penuntut, dianggap mampu mematahkan pembelaan pengacara terdakwa, sehingga hakim mampu memutuskan secara sah terbukti dan meyakinkan jika ganjaran di atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) layak diberikan empat terdakwa yang merugikan negara hingga Rp16,8 triliun itu.
Baca Juga
“Perlu diingat, sangat besar kemungkinan terdakwa melakukan upaya hukum. Ini harus benar-benar jadi perhatian. Publik harus terus mengawalnya," ujarnya.
Namun demikian, Yenti berharap kepada Kejaksaan Agung tetap mencermati pelacakan tindakan pencucian uang dan hasil kejahatannya dengan penerapan Undang-undang Tipikor, guna mengoptimalkan perampasan aset terdakwa untuk dikembalikan ke negara.
“Ini jadi poin penting selain vonis, karena ini menyangkut penyelamatan keuangan negara,” papar Yenti.
Empat terdakwa yaitu Mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim; Mantan Direktur Keuangan PT AJS, Hary Prasetyo; Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT AJS, Syahmirwan; dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto seluruhnya di vonis seumur hidup.
Khusus untuk Hendrisman dan Syahmirwan, vonis hakim jauh di atas tuntutan jaksa. Sedangkan dua terdakwa lain, Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat ditunda lantaran keduanya terindikasi positif Covid-19.
"Mengadili, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan hukuman pidana penjara seumur hidup," ucap Hakim Ketua Susanti, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/10) malam.
Dalam menjatuhkan hukuman, hakim menuturkan hal yang memberatkan yakni perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selain itu perbuatan mereka dinilai Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) yang berimplikasi kepada kesulitan ekonomi para nasabah Asuransi Jiwasraya.
Hal itu, menurut hakim, membuat kepercayaan masyarakat menurun terhadap perasuransian dan investasi. Adapun, hal meringankan terdakwa yakni belum pernah dihukum. Vonis itu sama dan/atau lebih berat dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebelumnya, Hendrisman Rahim dituntut dengan pidana 20 tahun penjara; Hary Prasetyo dituntut seumur hidup; Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara; dan Joko Hartono Tirto dituntut pidana seumur hidup.
Sementara itu anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan mengaku cukup puas mendengar putusan hakim terhadap terdakwa penggembos perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Bahkan, dia menilai sebelumnya tuntutan hakim tidak akan lebih berat dari JPU.
“Seumur hidup dan 20 tahun cukup adil. Tapi melihat kerugian yang disebabkan pada jutaan nasabah, hakim sangat pantas memberikan hukuman di atas tuntutan Jaksa,” ujar Trimedya.
Dia menyebutkan, setelah vonis yang perlu menjadi fokus perhatian adalah bagaimana Kejaksaan Agung mampu merampas semua aset terdakwa untuk penyelamatan keuangan negara dan pengembalian kerugian kepada nasabah. “Balikin asenya itu untuk bayar nasabah. Fokus ke bagaimana soal keuangan negara dan nasabah.”
Menanggapi penundaan tuntutan dan vonis dua terdakwa Bentjok dan Heru lantaran Covid-19, politisi PDI-Perjuangan itu meminta hakim agar memberikan tenggat waktu atau bahkan pembacaan tuntutan tidak masalah jika tidak dihadiri keduanya. Hakim perlu benar-benar melihat apakah Bentjok dan Heru sakit serius atau ringan.
“Hakim harus punya deadline. Kecuali mereka pakai ventilator berarti serius, namun hakim bisa bisa memberikan jaksa membacakan tuntutan dan vonis tanpa Bentjok dan temannya itu hadir. Diukur saja soal alasan kemanusian ini.” kata Trimedya.