Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Cerita Pilkada Bisa Dibeli pada Era Awal Otonomi Daerah

Hal itu terjadi pada 1999 atau sejak otonomi daerah dengan DPRD menjadi tulang punggungnya.
Tiga pasang Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan menunjukan nomor urutnya di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (24/9/2020). Pilkada Tangsel diikuti tiga pasang calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota yakni pasangan nomor urut satu Muhammad (diwakilkan) - Rahayu Saraswati (kiri), nomor urut dua Siti Nurazizah - Ruhamaben (tengah) dan nomor urut tiga Benyamin Davnie - Pilar Saga Ichsan (kanan)./Antara-Muhammad Iqbarn
Tiga pasang Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan menunjukan nomor urutnya di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (24/9/2020). Pilkada Tangsel diikuti tiga pasang calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota yakni pasangan nomor urut satu Muhammad (diwakilkan) - Rahayu Saraswati (kiri), nomor urut dua Siti Nurazizah - Ruhamaben (tengah) dan nomor urut tiga Benyamin Davnie - Pilar Saga Ichsan (kanan)./Antara-Muhammad Iqbarn

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menceritakan bahwa ada masa di mana jabatan kepala daerah terang-terangan bisa dibeli dengan uang.

Hal itu terjadi pada 1999 atau sejak otonomi daerah dengan DPRD menjadi tulang punggungnya.

“DPRD memilih kepala daerah final. Siapapun yang dipilih oleh DPRD tidak perlu persetujuan pusat,” katanya dalam Sesi Panel Hari ke-1 Penyelenggaraan Pilkada di Era Pandemi dalam Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik CSIS, Rabu (14/10/2020).

Kemudian, DPRD punya hak dan wewenang untuk mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah di tengah jalan jika dianggap tidak bertanggung jawab. Namun, Mahfud menilai hal tersebut yang dianggap demokratis saat itu justru menimbulkan banyak bencana politik.

“Karena apa, dalam prakteknya yang banyak terjadi itu banyak kepala daerah dipilih DPRD dengan uang,” ujarnya.

Caranya, anggota partai politik yang punya ‘kursi’ di DPRD menjual hak pilihnya kepada calon kepala daerah dan setelah terpilih, mereka juga diperas oleh DPRD.

Bahkan, menurutnya jual-beli suara tersebut dilakukan dengan terang-terangan.

Namun, pada akhirnya pemerintah pusat menyadari bahwa menjadikan DPRD sebagai tulang punggung otonomi daerah adalah keputusan yang salah.

“Pada 2004 kita membuat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang isinya DPRD tidak boleh menjatuhkan kepala daerah dan tidak boleh memilih kepala daerah,” papar Menko Mahfud.

Adapun, seminar yang diselenggarakan CSIS tentang pilkada diselenggarakan untuk melihat peran pilkada langsung selama sekitar 15 tahun atau sejak 2005 terhadap kesejahteraan masyarakat, mendorong pembangunan di daerah, dan yang lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper