Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menceritakan bahwa ada masa di mana jabatan kepala daerah terang-terangan bisa dibeli dengan uang.
Hal itu terjadi pada 1999 atau sejak otonomi daerah dengan DPRD menjadi tulang punggungnya.
“DPRD memilih kepala daerah final. Siapapun yang dipilih oleh DPRD tidak perlu persetujuan pusat,” katanya dalam Sesi Panel Hari ke-1 Penyelenggaraan Pilkada di Era Pandemi dalam Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik CSIS, Rabu (14/10/2020).
Kemudian, DPRD punya hak dan wewenang untuk mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah di tengah jalan jika dianggap tidak bertanggung jawab. Namun, Mahfud menilai hal tersebut yang dianggap demokratis saat itu justru menimbulkan banyak bencana politik.
“Karena apa, dalam prakteknya yang banyak terjadi itu banyak kepala daerah dipilih DPRD dengan uang,” ujarnya.
Caranya, anggota partai politik yang punya ‘kursi’ di DPRD menjual hak pilihnya kepada calon kepala daerah dan setelah terpilih, mereka juga diperas oleh DPRD.
Baca Juga
Bahkan, menurutnya jual-beli suara tersebut dilakukan dengan terang-terangan.
Namun, pada akhirnya pemerintah pusat menyadari bahwa menjadikan DPRD sebagai tulang punggung otonomi daerah adalah keputusan yang salah.
“Pada 2004 kita membuat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang isinya DPRD tidak boleh menjatuhkan kepala daerah dan tidak boleh memilih kepala daerah,” papar Menko Mahfud.
Adapun, seminar yang diselenggarakan CSIS tentang pilkada diselenggarakan untuk melihat peran pilkada langsung selama sekitar 15 tahun atau sejak 2005 terhadap kesejahteraan masyarakat, mendorong pembangunan di daerah, dan yang lainnya.