Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dingin Mata Uang di Era Corona, Dolar AS vs Euro

Perang mata uang yang mulai muncul antara dolar AS dan Euro dapat mengalihkan fokus pembuat kebijakan dari tugas utama mereka memperbaiki ekonomi global pasca pandemi, ke urusan moneter.
Seorang pria menghitung lembaran uang euro dan dolar AS./Bloomberg-Kerem Uzel
Seorang pria menghitung lembaran uang euro dan dolar AS./Bloomberg-Kerem Uzel

Bisnis.com, JAKARTA – “Ini mata uang kami, tapi itu masalah Anda.” Kata-kata John Connally, Menteri Keuangan Richard Nixon, sering dikutip dalam berbagai tulisan atau paparan ekonom ketika menyinggung pergerakan dolar AS terhadap mata uang global lainnya.

Pasalnya, kekuatan dolar AS sebagai mata uang acuan cadangan devisa tidak terpatahkan ketika ekonomi Negeri Paman Sam ini masih menjadi yang terbesar di dunia. Sumbangan PDB-nya mencapai 24.08 persen terhadap total PDB dunia. Nomor wahid di atas China.

Kini, di era Corona, kelemahan dolar yang belakangan terjadi mengancam timbulnya perang mata uang besar-besaran. Ketika dolar melemah, penguatan mata uang peer group-nya akan bergerak berlawanan.

Perang mata uang ini dapat mengalihkan fokus pembuat kebijakan dari tugas utama mereka memperbaiki ekonomi global pasca pandemi, ke urusan moneter.

Pelemahan dolar AS timbul setelah the Fed mengumumkan strategi kebijakan moneternya ke depan. The Fed akan mengarahkan suku bunganya ke tingkat yang rendah ke depannya.

Adaptasi strategi yang diumumkan pada akhir Agustus oleh Ketua Fed Jerome Powell setelah tinjauan selama setahun ini akan memberanikan pedagang yang sudah berspekulasi tentang pelemahan dolar. Bahkan, ini akan membuat mereka menaikkan taruhannya atas euro ke level rekor.

Benar saja, nilai tukar euro terhadap dolar melesat naik. Penguatan mata uang sebenarnya bukan masalah ketika ekonomi baik-baik saja. Namun tidak demikian, pandemi Corona telah meluluhlantakkan ekonomi Benua Biru.

Produk domestik bruto (PDB) zona euro (yang terdiri dari 19 negara pengguna mata uang euro) mengalami kontraksi 14,7 persen year-on-year (yoy) pada kuartal II/2020.

Ini adalah kontraksi terparah sepanjang sejarah dan kontraksi ini sekaligus mempertegas posisi ekonomi zona euro yang resmi mengalami resesi.
Pasalnya, PDB zona euro telah mengalami kontraksi sebesar 3,2 persen (yoy) pada kuartal I/2020. Resesi ini diikuti oleh masalah deflasi.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Agustus 2020 mengalami deflasi 0,2 persen secara tahunan. Level terendah sejak kuartal I/2016.

Kepala ekonom Bank Sentral Eropa Philip Lane akhirnya bersuara.

Lane menegaskan nilai tukar merupakan hal yang penting dalam kebijakan moneter.

“"Kurs euro-dolar itu penting," kata Lane Selasa lalu. "Jika ada kekuatan yang menggerakkan kurs euro-dolar, itu masuk ke prakiraan global dan Eropa kami dan itu pada gilirannya memberi masukan ke dalam pengaturan kebijakan moneter kami,” ujar Lane, dikutip dari Bloomberg.

Pernyataan Lane dinilai pasar sebagai sikap bank sentral yang menunjukkan bahwa reli euro telah terlalu jauh dari target ECB. Sebagai catatan, pejabat ECB biasanya enggan untuk berbicara banyak tentang nilai tukar.

Ketika ada apresiasi atau depresiasi, jawaban normatif ala bank sentral yang akan diberikan. Dapat dipahami, kondisi ini diterjemahkan menjadi, mata uang yang lebih kuat berarti disinflasi.

Penguatan mata uang membuat impor lebih murah dan berkontribusi pada kondisi keuangan yang lebih ketat. Hal terakhir yang tidak diinginkan negara manapun ketika ekonominya dihimpit resesi.

"Kami baru saja memasuki bulan September dan pembicaraan tentang nilai tukar mata uang oleh para gubernur bank sentral G10 telah dimulai," kata Ahli Strategi Makro Global di Arkera Viraj Patel dalam catatannya yang dilansir Market Watch, Rabu (9/9/2020).

Patel bulan lalu memperingatkan bahwa reli euro mendekati ambang batas dan semakin cenderung memicu tekanan balik dari pembuat kebijakan.

Itu adalah bagian dari reaksi potensial yang lebih luas terhadap jatuhnya dolar AS yang telah mundur tajam dari level tertinggi Maret yang dipicu pandemi.

Sementara penurunan dolar dipandang secara umum bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi global, terutama di pasar negara berkembang, hal itu juga mengancam kelanjutan dari apa yang disebut Patel sebagai ‘perang dingin mata uang’ yang telah berlangsung lama sejak krisis keuangan global.

Mengacu kepada FX Strength Aversion Index pada Agustus - indeks yang memeringkat negara-negara G10 berdasarkan seberapa besar mereka dapat mentolerir biaya ekonomi - Patel melihat Swiss franc dan euro paling berisiko dalam hal ini.

"Pada titik ini, pembuat kebijakan tidak dapat berbuat banyak untuk mengontrol arus mata uang asing,” kata Boris Schlossberg, Direktur Pelaksana Strategi FX di BK Asset Management.

Sebaliknya, jika upaya pembuat kebijakan berhasil, Euro dapat kembali terdepresiasi menuju US$1,17 karena trader jangka menengah mengambil keuntungan dari reli saat ini.

Kondisi ini juga dapat berimplikasi pada pasar saham. "Kelemahan Euro pada gilirannya, akan menyebabkan penguatan dolar dan akan menjadi alasan lain bagi ekuitas untuk turun karena aset AS menjadi lebih mahal dalam mata uang lain," kata Schlossberg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper