Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia menyesalkan gagalnya adopsi draf resolusi terkait penanggulangan terorisme saat Presidensi Dewan Keamanan (DK) PBB.
Hal itu ditegaskan Wakil tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani dalam pernyataannya, Senin (31/8/2020). Dia menjelaskan bahwa salah satu resolusi usulan Indonesia itu sebenarnya telah mendapat dukungan 14 negara anggota DK PBB.
Namun, resolusi itu tidak dapat disahkan karena veto oleh satu negara. Dia menyatakan bahwa seluruh negara anggota DK PBB menyesalkan penggunaan veto terhadap resolusi tersebut.
"Kegagalan dewan mengadopsi resolusi penting ini tidak hanya melumpuhkan upaya kolektif kita untuk menghadapi ancaman terorisme, tetapi mengirimkan sinyal, yang merusak bahwa dewan, pertama kalinya, tidak bersatu melawan momok terorisme," tegasnya.
Dian menjelaskan resolusi ini bertujuan untuk memberikan panduan yang jelas bagi negara-negara anggota untuk mengembangkan dan melaksanakan strategi penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi (PRR) yang komprehensif.
Selain itu, resolusi ini juga membangun aspek penuntutan yang kuatm memberikan elemen rehabilitasi dan reintegrasi yang jelas dan praktis untuk melawan ekstremisme dan terorisme.
Resolusi ini juga bertujuan mendorong pendekatan pemerintah secara proaktif dan mengakui peran yang dapat dimainkan keluarga, masyarakat sipil, tokoh agama.
"Indonesia menyayangkan DK PBB gagal mengadopsi draf resolusi tentang penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi [PRR] teroris karena adanya satu suara tidak setuju oleh anggota tetap dewan," kata Dian.
Seperti diketahui, Indonesia barus saja mengakhiri Presidensi Dewan Keamanan (DK) PBB pada Agustus 2020 dengan menyelesaikan 50 kegiatan pertemuan, termasuk menghasilkan empat resolusi.
Di bawah Presidensi Indonesia, DK PBB telah mengesahkan empat resolusi, antara lain resolusi perpanjangan mandat misi pemeliharaan perdamaian di Lebanon (UNIFIL) dan resolusi perpanjangan mandat misi pemeliharaan perdamaian di Somalia.
Selain itu, dua resolusi lainnya adalah resolusi perpanjangan rezim sanksi di Mali dan resolusi tentang personel penjaga perdamaian perempuan yang diprakarsai Indonesia.