Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Katib Aam PBNU Terpilih Anggota Komisi Indo-Pasifik

Policy Exchange, lembaga think tank terkemuka di Inggris, meluncurkan Komisi Internasional tentang Indo-Pasifik (kawasan di sekitar Samudera India dan Samudera Pasifik) yang beranggotakan 16 tokoh pembuat kebijakan dari kalangan diplomat, pemimpin dunia usaha, politisi, pemimpin militer dan sipil.
Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf. /ANTARA-Wahyu Putro A
Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf. /ANTARA-Wahyu Putro A

Bisnis.com, JAKARTA - Policy Exchange, lembaga think tank terkemuka di Inggris, meluncurkan Komisi Internasional tentang Indo-Pasifik (kawasan di sekitar Samudera India dan Samudera Pasifik) yang beranggotakan enam belas orang tokoh pembuat kebijakan berpengalaman dari kalangan diplomat, pemimpin dunia usaha, politisi, pemimpin militer dan sipil.

Mereka berasal dari Inggris, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Jepang, India, Korea Selatan, Australia, Indonesia dan Singapura. Dari Indonesia, dipilih Yahya Cholil Staquf, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa ia bersedia menerima tugas itu karena melihat peluang raksasa untuk secara strategis membumikan gagasan-gagasan dari Gerakan Global Islam untuk Kemanusiaan (Humanitarian Islam) yang ditekuninya selama empat tahun terakhir ini.

“Saya juga akan berkonsultasi dengan para stakeholders kepentingan nasional Indonesia, baik di kalangan politisi, pejabat pemerintahan, maupun para pemimpin masyarakat sipil, agar keberadaan saya dalam Komisi Indo-Pasifik ini dapat bermanfaat pula bagi kepentingan bangsa dan negara," katanya dalam keterangan pers, Selasa (21/7/2020).

Tujuan dibentuknya komisi ini adalah untuk menyusun cetak biru (blueprint) pendekatan strategis baru terhadap kawasan Indo-Pasifik, dengan mengkaji masalah-masalah perdagangan, diplomasi, politik, pertahanan dan keamanan yang berpusat di Indo-Pasifik.

Dalam rangka itu, langkah yang ditempuh antara lain adalah membantu membangun konsensus nasional (di Inggris) dan internasional mengenai seluk-beluk berbagai tantangan yang muncul dari kawasan Indo-Pasifik terhadap stabilitas dan kesejahteraan Dunia.

Komisi yang diketuai oleh mantan Perdana Menteri Kanada, Stephen Harper, itu akan menggelar kegiatan-kegiatan dan kajian-kajian di berbagai arena kebijakan yang luas.

Pertama, menyangkut perkembangan ekonomi dan teknologi di Indo-Pasifik, termasuk isu “industrial decoupling” (larinya investasi industri internasional dari RRC ke negara-negara lain), hak cipta intelektual, tolok-ukur digital, kebijakan teknologi dan sains.

Kedua, menyangkut politik domestik dan internasional serta diplomasi Indo-Pasifik, khususnya menyangkut format-format komunal dan mekanisme-mekanisme permusyawaratan internasional untuk mengukuhkan tata dunia yang didasarkan atas aturan hukum. Ketiga, menyangkut isu-isu pertahanan dan keamanan Indo-Pasifik, mulai dari “hard power” hingga perang informasi/politik, cyber security dan kekuatiran-kekuatiran baru mengenai senjata biologis dan ketahanan kesehatan.

Stephen Harper, Ketua Komisi Internasional tentang Indo-Pasifik, mengatakan, “Komisi Indo-Pasifik ini secara tepat mengenali bahwa negara-negara seperti Jepang, India, Korea Selatan, Australia, Indonesia dan Singapura, memiliki banyak hal yang bisa ditawarkan ke arah kerja sama dagang dan kerja sama dalam menghadapi masalah-masalah politik, pertahanan dan diplomasi”.

Daftar anggota Komisi Indo-Pasifik

1. Stephen Harper, Kanada, mantan Perdana Menteri;

2. Claire Coutinho MP, Inggris, Sekretaris Pribadi Kanselir Rishi Sunak di Parlemen Inggris;

3. Lt. Gen. In-Bum Chun, Korea Selatan, purnawirawan perwira militer terkemuka, Tenaga Ahli Tamu di Brookings Institution, Amerika Serikat;

4. Alexander Downer, Australia, mantan Menteri Luar Negeri, mantan Komisioner Tinggi Australia untuk Inggris, dan Ketua Policy Exchange;

5. Murray McCully, New Zealand, mantan Menteri Luar Negeri;

6. Sir Michael Fallon, Inggris, mantan Menteri Pertahanan;

7. Ely Ratner, Amerika Serikat, Wakil Presiden Eksekutif dan Direktur Kajian pada Center for a New American Security, dan mantan Deputi Penasehat Keamanan Nasional untuk Wakil Presiden Joe Biden;

8. Lord Robertson of Port Ellen, Inggris, Peer dari Partai Buruh, mantan Sekretaris Jenderal NATO;

9. Marquess of Salisbury, Inggris, mantan Lord Privy Seal dan pimpinan the House of Lords;

10. Samir Saran, India, Presiden Observer Research Foundation, New Delhi;

11. Nadia Schadlow, Amerika Serikat, mantan Deputy National Security Advisor;

12. Yahya Cholil Staquf, Indonesia, Katib ‘Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di dunia;

13. Koji Tsuruoka, Jepang, mantan Duta Besar Jepang untuk Inggris, Ketua Juru Runding Jepang untuk kerja sama Trans-Pasifik;

14. Robert Hannigan, Inggris, mantan Kepala Government Communication Headquarters (GCHQ);

15. Michael Auslin, Amerika Serikat, peneliti terkemuka Lembaga Payson J. Treat dalam studi Asia kontemporer, di the Hoover Institution, Stanford University);

16. C. Raja Mohan, Singapura, Direktur Institute of Asian Studies.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fatkhul Maskur
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper